Senin, 30 April 2012


MENGUAK DIARY ANAKKU, ZERIA
Oleh: Justice Aidoru

16 Februari 2011,
Di rumah
(Catatan Zeria)
Huhhh... tak pernah sebosan ini di rumah. Apa yang harus kulakukan? Selalu tak punya inisiatif tuk melakukan sesuatu yang amazing. Hanya bisa terdiam di atas kasur, menatap langit-langit kamar berwarna pink soft. Berusaha menahan sakit di sekujur tubuh yang tak kunjung usai. Terukir beberapa rupa miniatur bunga yang bergerombol menjadi bentuk tertentu. Dipadu dengan warna purple dan yellow pada bagian ujung mahkotanya. Beautiful! Tapi tidak untuk aku.

Beginilah kondisi kamarku yang didominasi oleh warna pink yang kata banyak orang warna tersebut sebagai simbol ke-cewek-an. Setiap orang yang baru masuk kamarku akan takjub melihat arsitektur kamarku yang tampak beda dengan kamar pada umumnya. Kamar yang seluas 5x5 meter, di kedua ujung pojok kamar terdapat laci putih, satu lemari baju diposisikan antara kedua laci tersebut dengan warna perpaduan  pink dan putih, di seberangnya terdapat kasur dengan komputer di samping kanan. Jendela kamar dihiasi dengan gorden transparan berwarna putih yang dikait dikedua sisinya. Berbagai macam pajangan boneka yang ku taruh di atas kasur dan lemari bajuku. Tapi itu semua bukan karena aku sebagai cewek yang menuntut mempunyai banyak boneka. Teman-temanku yang menghadiahkannya kepadaku. Entah karena mereka sepulang dari luar negeri atau berlibur dari suatu tempat dan menjadikan boneka sebagai buah tangan.
Ternyata keinginan mama dilatarbelakangi oleh satu hari lagi yang bertepatan tanggal 14 Februari yaitu valentine days. Suatu hari yang muncul pertamakali di Roma pada masa kekaisaran Claudius II, Benua Eropa. Apalagi kakek dan nenek dari mama adalah European. Otomatis cinta akan kebudayaan Eropa yang menjadi tanah kelahiran mama masih melekat. Meskipun tak semua kebudayaan dari valentine days itu sendiri diterima olehnya. Inilah yang menjadi keinginannya agar warna kamarku dicat pink.
Bahkan untuk menetapkan namaku Zeria tak lain karena nama ini diambil dari kata pizzeria yang berasal dari bahasa Italia, Eropa. Sebenarnya arti dari kata itu tidaklah bagus, aku tak pernah menyukainya. Tak lain, artinya sangat mengidentikkan negeri itu sendiri sebagai negeri pizza, kedai pizza. Tidak mengherankan jika nama itu menjadi panggilanku. Lagi-lagi Ini dilatarbelakangi dari mama yang sangat suka dengan pizza. Seorang yang sangat ‘berambisius’ tak akan rela jika apa yang diinginkan tak terwujud, bahkan mengalah untuk anak sendiri takkan dia biarkan.
Namun sayang, semua ini bukan inisiatif dariku. Semua ada dibawah kendallinya. Ia ingin aku menjadi sesuai apa yang ia harapkan. Seorang yang menuntut ke-perfectionist-an diri, itulah mamaku. Sedangkan papaku hanya mengiyakan setiap permintaan mama.
Aku hanya bagai raga tanpa nyawa di rumah ini. Mama tidak pernah tahu apa yang menjadi keinginanku selama ini. Setiap jerih payah yang kulakukan agar mama dan papa bangga kepadaku, ternyata itu sia-sia dihadapan mereka, nothing. Semua hal yang kusenangi, jelek di mata mereka. Hampir kehabisan akal bagaimana cara terbaikku agar mereka bisa merasakan dan mengerti, inilah aku. Aku hanya bagai raga yang nampak, namun nyawaku telah pergi dari rumah. Inilah yang menjadikan aku bukan sebagai Zeria yang dulu pernah dikenal mama.
*****
01 Februari,
09.00 WIB
    “Tidak mama. Aku tidak suka warna itu,” berontakku.
    “Warna itu bagus, cocok dengan kepribadian kamu sebagai cewek.”  Dengan nada tinggi mama selalu menggunakan banyak alasan untuk memperkuat pernyataannya.
    “Tapi...”
    “Sudahlah Zeria, turuti saja perkataan mamamu.” Tambah ayah mendukung mama, “lagian apa susahnya dipoles cat pink.”
    Tidak mama maupun ayah sama saja. Ya sudahlah, aku bisa menerimanya hanya sebatas warna cat untuk kamarku. Tapi sebenarnya itukan kamarku, aku juga berhak atasnya. Sebagai seorang gadis berumur 16 tahun seharusnya aku bisa melakukan segala sesuatunya sendiri, apalagi hanya sekedar memilih warna cat yang sesuai dengan keinginanku. Tetap saja hatiku berontak.
    Mereka pikir anak seusiaku belum bisa mengenali mana yang terbaik buatku dan mana yang tidak. Memang betul, sepenuhnya aku belum bisa menetapkan baik tidaknya. Tapi setidaknya aku juga butuh ruang kreasi untuk menyalurkan keinginanku. Dan aku berharap kedua orangtuaku bisa memahami aku, ternyata tidak.
*****
03 Februari,
Di sekolah
    Hari ini adalah hari yang istimewa bagiku meskipun akan cukup membuat hatiku berdebar-debar. Pengumuman pemenang lomba Music Award yang diadakan oleh salah satu tempat pelatihan musik terbaik di Indonesia akan diumumkan. Aku termasuk salah satu peserta lomba. Piano dan biola adalah ahliku. Lima belas menit sebelum acara dimulai aku menghubungi mama agar datang tepat waktu sebelum pengumuman pemenang.
    “Hallo, mama taukan sekarang ada agenda apa di sekolah Zeria?” Tanyaku berharap penuh agar mama ingat dan mau datang. Aku sangat berharap kehadiran mama karena aku yakin predikat pemenang akan jatuh di tanganku. Aku yakin betul itu.
    “Emmm...” suara mama terdengar yang sepertinya tidak bisa lepas dari rasa kantuk dan lelahnya. Hari ini adalah one day off, sehari libur kerja bagi mama sebagai wanita karir. Sebenarnya dalam lubuk hatiku terdalam sudah memprediksikan 99% ketidakhadiran mama. Setidaknya ada 1% yang patut untuk aku usahakan.
    “Hallo mama... mama bisa datangkan?” Desakku. Lagi-lagi suara yang sama terdengar di telingaku. “Pokoknya mama harus datang, ini moment penting ma?” ucapan terakhirku yang menolak adanya toleransi lain. Jangan tanyakan kenapa aku tidak menghubungi papa. Sudah pasti 100% ketidakhadirannya terakui. Sebagai kepala rumah tangga, papa selalu bekerja setiap hari dari mata sebelum terbelalak sampai mata terpejam di malam hari, sehingga frekuensi pertemuan kita sangatlah kecil. Bahkan tidak jarang kedua orang tuaku bertengkar karena hal yang sepele.
    Sudah setengah jam acara berlalu. Diisi dengan show intermission berupa pertujukan dari masing-masing ekstrakulikuler sekolah sebelum pengumuman pemenang. Acara begitu meriah sampai aku tersadar lima menit lagi akan diumumkan pemenang lomba Music Award 2012 dan mamaku belum datang juga. Aku menoleh kanan kiri namun belum juga terlihat sosok tubuhnya. Beberapa menit terakhir menjadi harapan kecilku.
Kini telah tiba saat yang sangat dinanti-nanti oleh para hadirin dan para kontestan semua. Pengumuman pemenang lomba Music Award 2012...
Suara gemuruh tepukan tangan para audience memenuhi seluruh ruangan aula. Akhirnya sampailah di menit yang menegangkan, pengumuman juara pertama setelah pemenang kedua dan ketiga telah menjadi milik orang lain.
Telah sampai di detik-detik yang menegangkan. Juara pertama Music Award 2012 jatuh kepada…. SELAMAT KEPADA ANANDA ZERIA…
Para audience standing ovation dengan meriah dan untuk kesekian kalinya menggelegarkan aula. Aku sangat bahagia meskipun terselip sedikit rasa sedih karena kemenanganku tak terdengar langsung oleh mama.
Kepada Zeria dipersilahkan maju ke atas panggung.
Aula kembali bergemuruh dengan suara tepuk tangan dari para audience. Sambil naik menuju panggung aku tetap menoleh kanan kiri berharap mamaku menyaksikannya tanpa mau terlihat olehku. Aku tetap berusaha ber-positive thinking.
Sepulang dari sekolah aku langsung membuka pintu dan berteriak kegirangan “mama… aku menang…” aku langsung menuju kamar mama.
“Lain kali ketuk pintu dulu dong sebelum masuk kamar, mama jadi kaget. Tidak ada sopan santun!” Bentak mama.
Aku hanya bisa diam memegang ganggang pintu dengan mulut menganga, tak percaya sebegitu berharganya waktu istirahat mama. Sudah naik tangga setinggi mungkin dengan susah payah, tiba-tiba setelah sampai puncak tertinggi ada seseorang yang tega mendorongku hingga terjatuh sampai lantai bawah, sakiiit, itu yang kurasakan.
Oke, saat itu aku bisa mentolelir diri. Ini mungkin salahku karena tidak mengetuk pintu sebelum masuk kamar mama. Seharusnya aku tidak mengganggu waktu istirahat mama. Ya, ini memang salahku, bukan karena mama benci kepadaku.
Tapi hati ini tidak bisa berbohong. Air mata tak tertahankan dan jatuh mengenai sahabat penaku yang selama ini selalu menjadi tempat terbaikku mengutarakan isi hati, my diary book. Hanya buku inilah yang menjadi perantara suara hatiku. Di sisi lain keuntungannya bagiku, tidak ada pihak lain yang akan mencampuri semua urusanku entah mendukungku atau malah menyalahiku. Ku biarkan hati ini terus mengalirkan amarahnya yang tersembunyi.
*****
06 Februari,
20.00 WIB
(The Day Before My mom’s Birthday)
    Aku menyalakan laptop. Folder dengan nama Sweet File ku buka. Ini adalah folder khusus penyimpanan semua memori terindahku, sesuai dengan nama foldernya. Me and My friend, Me and My Family, ku buka folder satu persatu, hanya bisa menyisakan senyuman di bibir. Teringat semua memori yang dulu pernah kulakukan bersama teman-teman, mama, dan papa. Ada satu foto yang merangsang air mataku keluar, foto bersama mama dan papa. Ini adalah foto terakhirku bersama mereka saat kebersamaan diantara kami sangat kental.
    Kejadian itu telah berlalu 10 tahun silam. Saat itu mama belum menjadi seorang wanita karir. Tapi tetap saja sifat ‘ambisius’ tidak bisa jauh darinya. Pastinya kakek nenekku yang menjadi figuran mama. Karena suasana kekeluargaan begitu berasa, kami sering berlibur bersama dan selalu mengabadikan momen indah ini.
    Ide baru muncul dalam pikiranku. Mungkin dengan ini mama bisa teringat akan masa-masa yang dulu pernah kita jalani bersama. Aku putuskan untuk memberikan foto ini sebagai hadiah mama. Aku segera bangkit dari kasur dan segera menuju percetakan foto terdekat. Sesampainya di sana ternyata percetakan sedang tutup. Kebetulan printer di rumahku sedang rusak. Padahal itu satu-satunya percetakan terdekat. Ada pilihan kedua, itupun sangat jauh dari rumah. Butuh sekitar 20 menit untuk pergi ke sana. Jauh tidaknya, tidak mengurungkan niatku untuk pergi ke percetakan foto. Aku segera kembali mengambil kunci mobil.
    Sialnya, 10 menit perjalanan mobil tiba-tiba mogok. How so fool am I. Sebelum berangkat aku lupa mengecek bensin mobil. What should I do? Malam-malam seperti ini toko-toko kecil yang menjual bensin sudah tutup. Untuk menuju ke SPBU dengan mobil butuh tiga menit. Itu akan terasa sangat jauh jika hanya didorong oleh tenaga manusia. Apalagi jika seorang gadis berusia 16 tahun yang mendorongnya. Meskipun aku tinggi dengan lebar tubuh yang sebanding dengan tinggi badanku dan teman-teman banyak yang menyebutku badan atlet, tetap saja butuh kekuatan ekstra untuk mendorongnya. Ya sudah, tidak ada pilihan lain. Dorong atau nyawamu dalam ancaman malam. Dengan sekuat tenaga aku mendorongnya.
    Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba seseorang memberhentikan mobilnya tepat di depan mobilku. Pandanganku tembus melalui kaca belakang mobil. Pintu mobil terbuka oleh seorang laki-laki berbadan kekar. Tampangnya seperti orang yang sedang dalam masa perkuliahan sedang menuju ke arahku.
“Oh tidak, ada seseorang yang akan mencelakaiku. Dia menuju  kemari. Oh God, beri aku keselamatan.” Insting tanpa kepastian terus berterbangan di pikiranku. Si badan kekar semakin mendekat sampai di pintu mobilku. Aku tak berani berkutik sedikitpun dan langsung memejamkan mata. Setidaknya bisa mengurangi sedikit rasa takutku.
“Permisi, ada yang perlu dibantu?” Dengan suara serak-serak basah ternyata laki-laki itu menawariku. Sedikit kelegaan mengobati kegelisahan.
Aku langsung membelalakkan mata. Ternyata laki-laki itu ingin menolongku. Dengan polosnya aku bertanya, “apakah Anda orang baik-baik?” Muka laki-laki itu tiba-tiba berubah menjadi aneh, sepertinya karena mendengar pertanyaanku yang sedikit tidak masuk akal sebagai jawaban dari pertanyaannya. Suasana agak mencair setelah laki-laki itu tertawa kecil.
“Kamu kira saya orang jahat? Tidak, saya hanya ingin membantumu. Dan sepertinya kamu sedang kesulitan. Mobilmu mogok?”
“Iya mobil saya mogok kehabisan bensin. Maaf, saya kira Anda…”
“Biar ku bantu mendorong, kira-kira butuh sekitar setengah kilometer dari sini.”
“Terimakasih banyak atas bantuannya.”
    Sambil mendorong, laki-laki itu sok akrab denganku dengan menyodorkan beberapa pertanyaan, seperti sedang menginterogasi tapi tanpa bahasa formal pastinya. Sebenarnya masih terselip rasa takut apalagi di malam yang sepi hanya ada kita berdua, aku dan si badan kekar yang baru saja bertemu. Setidaknya aku harus tetap waspada, bukan tidak ada kemungkinan jika laki-laki itu melakukan hal yang tidak-tidak. Aku hanya menjawab singkat dan seperlunya. Pastinya aku juga bisa memilah mana pertanyaan yang perlu ku jawab dan mana yang tidak. Yang hanya ku jawab dari salah satu pertanyaannya adalah namaku Zeria dan dia membalas namaku Ben.
    Akhirnya sampailah di SPBU. Aku berterimakasih banyak kepadanya. Sebagai balas budi, aku menyodorkan uang seratus ribu untuknya. Tapi dia menolaknya.
    “O..o..oh.. tidak.. tidak.. tidak.. aku membantumu karena aku masih punya rasa kemanusiaan, bukan yang lain. Uangnya untuk menyetak foto yang akan kau hadiahkan ke mamamu saja.” Tolaknya dengan halus. Dalam perjalanan tadi aku juga sempat bercerita sedikit mengenai tujuan perjalananku.
    Selesai sudah aku menyetak foto di percetakan dengan perjalanan yang tak biasa, lalu aku kembali ke rumah. Kado untuk mama siap.
*****
07 Februari,
07.00 WIB
(Today Is  Mom’s Brithday)
    “Mama… I’ve special thing for you.”
    “Apa itu? Coba Tunjukkan.”
    Happy birthday mom…” ucapku sambil mengulurkan hadiah yang sudah ku poles secantik mungkin. Aku melihat muka mama sepertinya terlihat datar-datar saja. Perlahan mama membukanya.
    “Hanya foto? Mama juga punya foto ini. Apa artinya?”
    Hanya foto. Coba bayangkan aku sebagai seorang anak yang berusaha menyenangkan hati orang tua bukan tanpa pengorbanan yang biasa tidak mendapatkan pujian samasekali, bahkan cibiran yang terlontar dari mulut mama. Setidaknya maksud dari pemberianku agar mama teringat kembali masa lalu keluarga yang sekarang hanya menjadi memori belaka. Mungkin mama juga jarang membuka album keluarga bahkan tidak pernah.
    “Lain kali tidak usah memikirkan hal seperti ini. Fokus sajalah pada pelajaranmu. Nilaimu juga tidak begitu bagus kan?” Tegas mama yang semakin menusuk dalam hatiku. Aku terdiam, memendam jeritan hatiku yang terus meronta-ronta.
 Setelah ku perhatikan 10 tahun terakhir ini ternyata mama tidak bisa merasakan keberadaanku di rumah. Keberadaanku cukup hanya sebatas benda bukan seorang anak yang butuh kasih sayang dan perhatian bahkan pujianpun sebenarnya sangatlah berarti buatku. Aku hanyalah sebatas benda yang menjadi tempat pelampiasan sempurna bagi mama untuk melampiaskan segala keinginannya tanpa memikirkan sedikit saja perasaanku.
Akupun langsung berangkat sekolah tanpa pamitan dan sarapan. Tak ada lagi selera makan.
I’m Nothing…
*****
11 Februari,
Di Sekolah
    Aku terkenal anak yang pendiam di sekolah. Tapi kediamanku bukan karena aku pemalu. Aku tidak begitu suka dan peduli dengan cara pergaulan mereka. Namun hari ini aku telah memilih jalanku sendiri. Aku bukan sosok Zeria yang dulu, yang selalu di bawah tekanan mama. Sudah saatnya aku memilih jalanku sendiri. Ternyata selama ini usahaku hanya bagai sampah di mata mama. Hanya ada omelan yang terlontar dari mulutnya ketika itu tak sesuai dengan keinginannya dan memang usahaku tak pernah ada yang benar di mata mama.
    Pikiranku pecah setelah mendengar dentaman tangan Mira yang dibenturkan di atas meja. “Hai Zer, bengong saja? Tidak memesan makanan?” Sapanya tiba-tiba menghampiriku yang sedang duduk di kantin. Ditambah dengan senyumnya yang pahit menunjukkan posisinya sebagai cewek number one di sekolahku. Tidak biasa ia jadi sok akrab seperti ini kepadaku. Biasanya tanpa ada sebab apapun, setiap anak yang sering lewat di depannya selalu menjadi bahan pembicaraan. Sifat ke-borjuis-an sebagai anak dari pendonatur terbesar di sekolah, membuat banyak anak tidak ada yang berani sekaligus kecantikannya menjadi perhatian tersendiri bagi para lelaki.
    “Tumben kamu menyapaku, tidak biasanya seperti ini.” Kata ku agak sengit.
    “Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu.” Tambahnya sedikit berbisik di telingaku.
     Ternyata sebelum dia mengatakan maksud dari kedatangannya, “kringg... kringg... kringg...” bel berbunyi tiga kali menunjukkan pelajaran akan segera di mulai.
    “Ku tunggu kau di taman, ok?” Desaknya agar aku tak berpikir selain mengiyakan.
    Bel menandakan waktu pelajaran telah berakhir. Aku masih penasaran sebenarnya ada apa dibalik kepanggilanku. Atau jangan-jangan ada rencana jahat yang ingin ia lakukan kepadaku, tapi tidak mungkin. Lagipula aku tidak pernah punya hubungan apapun dengannya.
    Sesampainya aku di taman ternyata Mira sudah menungguku lebih dulu. Ia tak sendiri, di temani oleh dua teman yang selalu mendampinginya ke manapun ia pergi, kecuali tempat yang tidak ia inginkan untuk ditemani oleh siapapun.
    “Eh Zer, besok setelah pulang sekolah kamu ada acara tidak?” Tanyanya sesambil memberi senyuman menunjukkan keramahannya yang sebenarnya jarang diberikan kepada orang lain. Pasti ada maksud lain dibalik ini. Aku harus tetap hati-hati.
    “Memang kenapa?” Tanyaku balik memastikan tujuan dari pertanyaannya.
    “Emmm... sudah jawab dululah pertanyaanku.”
    “Tidak ada.”
    “Besok, aku ingin mengajakmu ke mall.”
    “Hah, aku tidak salah dengar. Kamu mengajakku ke mall?”
    “Iya, suer deh. Aku butuh rekomendasi dari kamu untuk membantuku memilih barang yang ingin aku beli.”
    “Kenapa kau harus memilihku?”
    “Sepertinya kamu mempunyai kelebihan itu.”
    Sejak kapan Mira bisa mengenalku sedekat itu? Sepertinya itu hanya alasan buatan untuk memperkuat alasannya mengajakku ke mall. Okelah, setidaknya tidak ada rugi juga kalau aku menerima ajakannya. Tambah lagi jika ada kemungkinan dia mau mentraktirku.
    “Okelah.” Jawabku singkat.
    “Besok setelah pulang sekolah aku akan menjemputmu.”
     Aku hanya membalas dengan anggukan sembari berpikir keheranan dengan sikapnya kepadaku.
*****

12 Februari,
In Plaza Mall
    “Memang apa yang ingin kau beli?” Tanyaku sebagai awal pembicaraan.
    “Aku ingin membeli sesuatu for my special person.”
    Aku sudah bisa menebak itu pasti untuk boy friend-nya. Apalagi ini adalah bulan Februari. Pastinya semua orang sudah menebak ada apa di balik bulan ini. Valentine Days.
    Mira menunjuk satu barang berbentuk lingkaran dengan hiasan pecahan setengah hati di atasnya.
    “Bagaimana menurutmu benda ini? Apakah cocok untuk dia?” Tanyanya meminta pendapatku.
    Meskipun Mira tidak bilang kepadaku seperti apa detailnya “dia”, aku juga tidak begitu penasaran dan ingin tahu. “Kurasa cincin ini cocok,” jawabku singkat. Tanpa berpikir panjang ia menerima masukanku.
    “Kamu lapar tidak? Ayo kita ke Chinese Food Resto?” Ajaknya.
    Sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia langsung menyeret tanganku. Berbagai macam makanan khas China tersaji. Aku tak tahu apa yang harus kumakan karena aku sendiri tak begitu menahu tentang makanan itu.
    “Kamu mau pesan yang mana?” Tanyanya.
    “Kamu serius ingin mentraktirku di restoran ini? Apakah tidak terlalu mahal?”
    “Tidak, sudahlah pesan yang menurutmu enak.”
    Di saat aku menikmati makanan, tiba-tiba Mira menawarkan sesuatu, “oh iya, besok malam aku rencana mau ke clubbing dengan teman-temanku. Kamu ikut yah?”
    Sebenarnya tidak ada keinginan sedikitpun untuk ikut ke clubbing, tapi melihat perlakuannya yang seperti ini kepadaku, aku tidak tega menolak permintaannya.
Jawab yang kuberikan hanya diam. Setidaknya Mira tahu kalau aku tidak mengatakan “tidak”.
“Tapi kali ini kamu harus berangkat sendiri yah? Karena mobilku akan diperbaiki di bengkel. Jam 7 malam, bertepatan malam valentine. Ok?” Tegasnya.
*****
13 Februari,
19.00 WIB
(Night Before Valentine Days)
Malam yang ditentukan telah tiba. Aku tidak begitu peduli dengan pakaian apa yang kukenakan malam ini. Tepat jam 7 malam aku sampai di sana. Mira dan teman-temannya sudah stand by di balik pintu. Sikap mereka menunjukkan sosok friendly. Semakin berjalannya waktu aku merasa menyatu dengan ‘kebersamaan’ malam dan ‘ramain’ musik. Sudah lama kau tidak pernah merasakan suasana seperti ini. Sangat berbeda dengan suasana rumah yang penuh dengan ‘cacian’ mama kepadaku. Mereka semua di sini care padaku. Aku seakan ada dan menyatu di tengah mereka. Aku mulai terlena. Tanpa kusadari, sosok tubuh pria menghampiriku. Ia mengaku sebagai teman Mira dan memberikan sesuatu padaku.
“Kamu Zeria kan?”
“Kenalkan aku Febri teman Mira. Kamu mau?” Tawarnya dengan memberikan bungkus plastik kecil berisi coklat dan ia mengucapkan Happy Valentine Days. Tanpa rasa curiga sedikitpun, aku pun tersenyum dan menerima pemberiannya. Setiap gigitan coklat yang kumakan semakin menambah keinginanku untuk memakannya lebih banyak. Aku ingin coklat itu lagi.
Dari titik itulah aku sudah memasuki batas mereka. Mereka, para pecandu narkoba. Saat ini aku sudah bukan lagi Zeria yang dikenal mama. Bahkan aku pikir mama tidak pernah mengenalku.
*****
17 Februari,
(Catatan Mama)
Itulah Ternyata tanggal 16 Februari adalah tanggal terakhir untuk anakku Zeria menulis semua kisah di buku hariannya. Aku baru sadar sebagai mamanya tak pernah memberikan motivasi dan penghargaan kepadanya. Memang, sudah empat hari terakhir ini Zeria sering pulang larut malam dan aku selalu memarahinya tanpa bertatap muka dan mengajaknya berbicara terlebih dahulu. Aku memang seorang ibu yang payah. Meskipun demikian aku masih bisa merasakan perubahan aneh yang terjadi pada anakku.
Teringat akan hari-hari terakhirnya sebelum menghembuskan nafas terakhir. 
“Zer, dari mana saja kamu?” Tanya ku kepada Zeria setelah dia baru menginjakkan kaki di rumah pukul 12 malam, “Hey kenapa dengan mukamu, pucat sekali.” Seketika itu Zeria langsung pingsan. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dari mulutnya mengeluarkan busa. Secepat mungkin aku menghubungi dokter yang sudah menjadi langgananku. Dengan perasaan seorang ibu yang khawatir akan kondisi anaknya -atau mungkin lebih tepatnya aku sebagai ibu yang tak berguna- terus berharap agar anakku selamat. Sesampainya di rumah sakit, 10 menit berlalu telah menjadi menit terakhir baginya. Zeria tak bisa terselamatkan. Dokter menyatakan kematian Zeria karena overdosis obat-obatan. Seperti inikah nasib terakhir yang menimpa anakku. Aku tak percaya semua ini. Ini semua adalah kelalaianku sebagai seorang ibu.
*****



  


   
     
   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar