MENGUAK
DIARY ANAKKU, ZERIA
Oleh: Justice Aidoru
16 Februari 2011,
Di
rumah
(Catatan Zeria)
Huhhh... tak pernah sebosan ini di rumah. Apa
yang harus kulakukan? Selalu tak punya inisiatif tuk melakukan sesuatu yang amazing. Hanya bisa terdiam di atas
kasur, menatap langit-langit kamar berwarna pink
soft. Berusaha menahan
sakit di sekujur tubuh yang tak kunjung usai. Terukir beberapa
rupa miniatur bunga yang bergerombol menjadi bentuk tertentu. Dipadu dengan
warna purple dan yellow pada bagian ujung mahkotanya. Beautiful! Tapi tidak untuk aku.
Beginilah kondisi kamarku yang didominasi
oleh warna pink yang kata banyak
orang warna tersebut sebagai simbol ke-cewek-an. Setiap orang yang baru masuk
kamarku akan takjub melihat arsitektur kamarku yang tampak beda dengan kamar
pada umumnya. Kamar yang seluas 5x5 meter, di kedua ujung pojok kamar terdapat
laci putih, satu lemari baju diposisikan antara kedua laci tersebut dengan
warna perpaduan pink dan putih, di
seberangnya terdapat kasur dengan komputer di samping kanan. Jendela kamar
dihiasi dengan gorden transparan berwarna putih yang dikait dikedua sisinya. Berbagai
macam pajangan boneka yang ku taruh di atas kasur dan lemari bajuku. Tapi itu
semua bukan karena aku sebagai cewek yang menuntut mempunyai banyak boneka. Teman-temanku
yang menghadiahkannya kepadaku. Entah karena mereka sepulang dari luar negeri
atau berlibur dari suatu tempat dan menjadikan boneka sebagai buah tangan.
Ternyata
keinginan mama dilatarbelakangi oleh satu hari lagi yang bertepatan tanggal 14
Februari yaitu valentine days. Suatu
hari yang muncul pertamakali di Roma pada masa kekaisaran Claudius II, Benua
Eropa. Apalagi kakek dan nenek dari mama adalah European. Otomatis cinta akan kebudayaan Eropa yang menjadi tanah
kelahiran mama masih melekat. Meskipun tak semua kebudayaan dari valentine days itu sendiri diterima
olehnya. Inilah yang menjadi keinginannya agar warna kamarku dicat pink.
Bahkan untuk
menetapkan namaku Zeria tak lain karena
nama ini diambil
dari kata pizzeria yang berasal dari
bahasa Italia, Eropa. Sebenarnya arti dari kata itu tidaklah bagus, aku tak
pernah menyukainya. Tak lain, artinya sangat mengidentikkan negeri itu sendiri
sebagai negeri pizza, kedai pizza. Tidak
mengherankan jika nama itu menjadi panggilanku. Lagi-lagi Ini dilatarbelakangi
dari mama yang sangat suka dengan pizza. Seorang yang sangat ‘berambisius’ tak
akan rela jika apa yang diinginkan tak terwujud, bahkan mengalah untuk anak sendiri takkan dia biarkan.
Namun sayang,
semua ini bukan inisiatif dariku. Semua ada dibawah kendallinya. Ia ingin aku
menjadi sesuai apa yang ia harapkan. Seorang yang menuntut ke-perfectionist-an diri, itulah mamaku. Sedangkan
papaku hanya mengiyakan setiap permintaan mama.
Aku hanya bagai
raga tanpa nyawa di rumah ini. Mama tidak pernah tahu apa yang menjadi
keinginanku selama ini. Setiap jerih payah yang kulakukan agar mama dan papa
bangga kepadaku, ternyata itu sia-sia dihadapan mereka, nothing. Semua hal yang kusenangi, jelek di mata mereka. Hampir
kehabisan akal bagaimana cara terbaikku agar mereka bisa merasakan dan
mengerti, inilah aku. Aku hanya bagai raga yang nampak, namun nyawaku telah
pergi dari rumah. Inilah yang menjadikan aku bukan sebagai Zeria yang dulu
pernah dikenal mama.
*****
01 Februari,
09.00 WIB
“Tidak mama. Aku tidak
suka warna itu,” berontakku.
“Warna itu bagus, cocok dengan kepribadian kamu sebagai
cewek.” Dengan nada tinggi mama selalu
menggunakan banyak alasan untuk memperkuat pernyataannya.
“Tapi...”
“Sudahlah Zeria, turuti saja perkataan mamamu.” Tambah ayah
mendukung mama, “lagian apa susahnya dipoles cat pink.”
Tidak mama maupun ayah sama saja. Ya sudahlah, aku bisa menerimanya
hanya sebatas warna cat untuk kamarku. Tapi sebenarnya itukan kamarku, aku juga
berhak atasnya. Sebagai seorang gadis berumur 16 tahun seharusnya aku bisa
melakukan segala sesuatunya sendiri, apalagi hanya sekedar memilih warna cat
yang sesuai dengan keinginanku. Tetap saja hatiku berontak.
Mereka
pikir anak seusiaku belum bisa mengenali mana yang terbaik buatku dan mana yang
tidak. Memang betul, sepenuhnya aku belum bisa menetapkan baik tidaknya. Tapi
setidaknya aku juga butuh ruang kreasi untuk menyalurkan keinginanku. Dan aku
berharap kedua orangtuaku bisa memahami aku, ternyata tidak.
*****
03
Februari,
Di
sekolah
Hari ini adalah
hari yang istimewa bagiku meskipun akan cukup membuat hatiku berdebar-debar. Pengumuman pemenang lomba Music
Award yang diadakan oleh salah satu tempat
pelatihan musik terbaik di Indonesia akan diumumkan. Aku termasuk salah satu
peserta lomba. Piano dan biola adalah ahliku. Lima belas menit
sebelum acara dimulai aku menghubungi mama agar datang tepat waktu sebelum
pengumuman pemenang.
“Hallo, mama taukan sekarang ada agenda apa di sekolah Zeria?”
Tanyaku berharap penuh agar mama ingat dan mau datang. Aku sangat berharap
kehadiran mama karena aku yakin predikat pemenang akan jatuh di tanganku. Aku
yakin betul itu.
“Emmm...” suara mama terdengar yang sepertinya tidak bisa lepas
dari rasa kantuk dan lelahnya. Hari ini adalah one day off, sehari libur kerja bagi mama sebagai wanita karir.
Sebenarnya dalam lubuk hatiku terdalam sudah memprediksikan 99% ketidakhadiran
mama. Setidaknya ada 1% yang patut untuk aku usahakan.
“Hallo mama... mama bisa datangkan?” Desakku. Lagi-lagi suara
yang sama terdengar di telingaku. “Pokoknya mama harus datang, ini moment
penting ma?” ucapan terakhirku yang menolak adanya toleransi lain. Jangan tanyakan kenapa aku tidak
menghubungi papa. Sudah pasti 100% ketidakhadirannya terakui. Sebagai kepala
rumah tangga, papa selalu bekerja setiap hari dari mata sebelum terbelalak
sampai mata terpejam di malam hari, sehingga
frekuensi pertemuan kita sangatlah kecil. Bahkan tidak jarang kedua orang tuaku
bertengkar karena hal yang sepele.
Sudah setengah jam acara berlalu. Diisi dengan show intermission berupa
pertujukan dari
masing-masing ekstrakulikuler sekolah sebelum pengumuman pemenang. Acara begitu
meriah sampai aku tersadar lima menit lagi akan diumumkan pemenang lomba Music Award 2012 dan mamaku belum datang
juga. Aku menoleh kanan kiri namun belum juga terlihat sosok tubuhnya. Beberapa
menit terakhir menjadi harapan kecilku.
Kini telah tiba saat yang sangat dinanti-nanti oleh para
hadirin dan para kontestan semua. Pengumuman pemenang lomba Music Award 2012...
Suara gemuruh
tepukan tangan para audience memenuhi
seluruh ruangan aula. Akhirnya sampailah di menit yang menegangkan, pengumuman
juara pertama setelah pemenang kedua dan ketiga telah menjadi milik orang lain.
Telah
sampai di detik-detik yang menegangkan. Juara pertama Music Award 2012 jatuh kepada….
SELAMAT KEPADA ANANDA ZERIA…
Para audience standing ovation dengan meriah
dan untuk kesekian kalinya menggelegarkan aula. Aku sangat bahagia meskipun
terselip sedikit rasa sedih karena kemenanganku tak terdengar langsung oleh
mama.
Kepada
Zeria dipersilahkan maju ke atas panggung.
Aula kembali
bergemuruh dengan suara tepuk tangan dari para audience. Sambil naik menuju panggung aku tetap menoleh kanan kiri
berharap mamaku menyaksikannya tanpa mau terlihat olehku. Aku tetap berusaha ber-positive thinking.
Sepulang dari
sekolah aku langsung membuka pintu dan berteriak kegirangan “mama… aku menang…”
aku langsung menuju kamar mama.
“Lain kali ketuk
pintu dulu dong sebelum masuk kamar, mama jadi kaget. Tidak ada sopan santun!”
Bentak mama.
Aku hanya bisa
diam memegang ganggang pintu dengan mulut menganga, tak percaya sebegitu
berharganya waktu istirahat mama. Sudah naik tangga setinggi mungkin dengan
susah payah, tiba-tiba setelah sampai puncak tertinggi ada seseorang yang tega
mendorongku hingga terjatuh sampai lantai bawah, sakiiit, itu yang kurasakan.
Oke, saat itu aku
bisa mentolelir diri. Ini mungkin salahku
karena tidak mengetuk pintu sebelum masuk
kamar mama. Seharusnya aku tidak mengganggu waktu istirahat mama. Ya, ini
memang salahku, bukan karena mama benci kepadaku.
Tapi hati ini
tidak bisa berbohong. Air mata tak tertahankan dan jatuh mengenai sahabat
penaku yang selama ini selalu menjadi tempat terbaikku mengutarakan isi hati, my diary book. Hanya buku inilah yang
menjadi perantara suara hatiku. Di sisi lain keuntungannya bagiku, tidak ada
pihak lain yang akan mencampuri semua urusanku entah mendukungku atau malah
menyalahiku. Ku biarkan hati ini terus mengalirkan amarahnya yang tersembunyi.
*****
06
Februari,
20.00
WIB
(The
Day Before My mom’s Birthday)
Aku
menyalakan laptop. Folder dengan nama Sweet
File ku buka. Ini adalah folder khusus penyimpanan semua memori terindahku,
sesuai dengan nama foldernya. Me and My
friend, Me and My Family, ku buka folder satu
persatu, hanya bisa menyisakan senyuman di bibir. Teringat semua memori yang
dulu pernah kulakukan bersama teman-teman, mama, dan papa. Ada satu foto yang
merangsang air mataku keluar, foto bersama mama dan papa. Ini adalah foto
terakhirku bersama mereka saat kebersamaan diantara kami sangat kental.
Kejadian
itu telah berlalu 10 tahun silam. Saat itu mama belum menjadi seorang wanita
karir. Tapi tetap saja sifat ‘ambisius’ tidak bisa jauh darinya. Pastinya kakek
nenekku yang menjadi figuran mama. Karena suasana kekeluargaan begitu berasa, kami sering berlibur bersama dan selalu
mengabadikan momen indah ini.
Ide
baru muncul dalam pikiranku. Mungkin dengan ini mama bisa teringat akan
masa-masa yang dulu pernah kita jalani bersama. Aku putuskan untuk memberikan
foto ini sebagai hadiah mama. Aku segera bangkit dari kasur dan segera menuju
percetakan foto terdekat. Sesampainya di sana ternyata percetakan sedang tutup.
Kebetulan printer di rumahku sedang rusak. Padahal itu satu-satunya percetakan
terdekat. Ada pilihan kedua, itupun sangat jauh dari rumah. Butuh sekitar 20
menit untuk pergi ke sana. Jauh tidaknya, tidak mengurungkan niatku untuk pergi
ke percetakan foto. Aku segera kembali mengambil kunci mobil.
Sialnya,
10 menit perjalanan mobil tiba-tiba mogok. How
so fool am I. Sebelum berangkat aku lupa mengecek bensin mobil. What should I do? Malam-malam seperti
ini toko-toko kecil yang menjual bensin sudah tutup. Untuk menuju ke SPBU
dengan mobil butuh tiga menit. Itu akan terasa sangat jauh jika hanya didorong
oleh tenaga manusia. Apalagi jika seorang gadis berusia 16 tahun yang
mendorongnya. Meskipun aku tinggi dengan lebar tubuh yang sebanding dengan
tinggi badanku dan teman-teman banyak yang menyebutku badan atlet, tetap saja
butuh kekuatan ekstra untuk mendorongnya. Ya sudah, tidak ada pilihan lain.
Dorong atau nyawamu dalam ancaman malam. Dengan sekuat tenaga aku mendorongnya.
Tidak
ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba seseorang memberhentikan mobilnya tepat di
depan mobilku. Pandanganku tembus melalui kaca belakang mobil. Pintu mobil
terbuka oleh seorang laki-laki berbadan kekar. Tampangnya seperti orang yang
sedang dalam masa perkuliahan sedang menuju
ke arahku.
“Oh tidak, ada
seseorang yang akan mencelakaiku. Dia menuju
kemari. Oh God, beri aku keselamatan.” Insting tanpa kepastian terus berterbangan di
pikiranku. Si badan kekar semakin mendekat sampai di pintu mobilku. Aku tak
berani berkutik sedikitpun dan langsung memejamkan mata. Setidaknya bisa
mengurangi sedikit rasa takutku.
“Permisi, ada
yang perlu dibantu?” Dengan suara serak-serak basah ternyata laki-laki itu
menawariku. Sedikit kelegaan mengobati kegelisahan.
Aku langsung
membelalakkan mata. Ternyata laki-laki
itu ingin menolongku. Dengan polosnya aku bertanya, “apakah Anda orang
baik-baik?” Muka laki-laki itu tiba-tiba berubah menjadi aneh, sepertinya karena
mendengar pertanyaanku yang sedikit tidak masuk akal sebagai jawaban dari
pertanyaannya. Suasana agak mencair setelah laki-laki itu tertawa kecil.
“Kamu kira saya
orang jahat? Tidak, saya hanya ingin membantumu. Dan sepertinya kamu sedang
kesulitan. Mobilmu mogok?”
“Iya mobil saya
mogok kehabisan bensin. Maaf, saya kira Anda…”
“Biar ku bantu
mendorong, kira-kira butuh sekitar setengah kilometer dari sini.”
“Terimakasih
banyak atas bantuannya.”
Sambil
mendorong, laki-laki itu sok akrab denganku dengan menyodorkan beberapa
pertanyaan, seperti sedang menginterogasi tapi tanpa bahasa formal pastinya.
Sebenarnya masih terselip rasa takut apalagi di malam yang sepi hanya ada kita
berdua, aku dan si badan kekar yang baru saja bertemu. Setidaknya aku harus tetap waspada, bukan
tidak ada kemungkinan jika laki-laki itu melakukan hal yang tidak-tidak. Aku
hanya menjawab singkat dan seperlunya. Pastinya aku juga bisa memilah mana
pertanyaan yang perlu ku jawab dan mana yang tidak. Yang hanya ku jawab dari
salah satu pertanyaannya adalah namaku Zeria dan dia membalas namaku Ben.
Akhirnya
sampailah di SPBU. Aku berterimakasih banyak kepadanya. Sebagai balas budi, aku
menyodorkan uang seratus ribu untuknya. Tapi dia menolaknya.
“O..o..oh..
tidak.. tidak.. tidak.. aku membantumu karena aku masih punya rasa kemanusiaan,
bukan yang lain. Uangnya untuk menyetak foto yang akan kau hadiahkan ke mamamu
saja.” Tolaknya dengan halus. Dalam perjalanan tadi aku juga sempat bercerita
sedikit mengenai tujuan perjalananku.
Selesai
sudah aku menyetak foto di percetakan dengan perjalanan yang tak biasa, lalu
aku kembali ke rumah. Kado untuk mama siap.
*****
07
Februari,
07.00
WIB
(Today
Is Mom’s Brithday)
“Mama…
I’ve special thing for you.”
“Apa itu? Coba Tunjukkan.”
“Happy birthday mom…” ucapku sambil
mengulurkan hadiah yang sudah ku poles secantik mungkin. Aku melihat muka mama
sepertinya terlihat datar-datar saja. Perlahan mama membukanya.
“Hanya
foto? Mama juga punya foto ini. Apa artinya?”
Hanya foto. Coba bayangkan aku sebagai
seorang anak yang berusaha menyenangkan hati orang tua bukan tanpa pengorbanan
yang biasa tidak mendapatkan pujian samasekali, bahkan cibiran yang terlontar
dari mulut mama. Setidaknya maksud dari pemberianku agar mama teringat kembali
masa lalu keluarga yang sekarang hanya menjadi memori belaka. Mungkin mama juga
jarang membuka album keluarga bahkan tidak pernah.
“Lain
kali tidak usah memikirkan hal seperti ini. Fokus sajalah pada pelajaranmu.
Nilaimu juga tidak begitu bagus kan?” Tegas mama yang semakin menusuk dalam
hatiku. Aku terdiam, memendam jeritan hatiku yang terus meronta-ronta.
Setelah ku perhatikan 10 tahun terakhir ini
ternyata mama tidak bisa merasakan keberadaanku di rumah. Keberadaanku cukup
hanya sebatas benda bukan seorang anak yang butuh kasih sayang dan perhatian
bahkan pujianpun sebenarnya sangatlah berarti buatku. Aku hanyalah sebatas
benda yang menjadi tempat pelampiasan sempurna bagi mama untuk melampiaskan
segala keinginannya tanpa memikirkan sedikit saja perasaanku.
Akupun langsung
berangkat sekolah tanpa pamitan dan sarapan. Tak ada lagi selera makan.
I’m Nothing…
*****
11
Februari,
Di
Sekolah
Aku terkenal anak yang pendiam di sekolah.
Tapi kediamanku bukan karena aku pemalu. Aku tidak begitu suka dan peduli
dengan cara pergaulan mereka. Namun hari ini aku telah memilih jalanku sendiri.
Aku bukan sosok Zeria yang dulu, yang selalu di bawah tekanan mama. Sudah
saatnya aku memilih jalanku sendiri. Ternyata selama ini usahaku hanya bagai
sampah di mata mama. Hanya ada omelan yang terlontar dari mulutnya ketika itu
tak sesuai dengan keinginannya dan memang usahaku tak pernah ada yang benar di
mata mama.
Pikiranku pecah setelah mendengar dentaman tangan Mira yang dibenturkan di atas meja. “Hai Zer, bengong saja? Tidak memesan makanan?” Sapanya tiba-tiba menghampiriku yang sedang
duduk di kantin. Ditambah dengan
senyumnya yang pahit menunjukkan posisinya sebagai cewek number one di sekolahku. Tidak biasa ia jadi sok akrab seperti ini kepadaku. Biasanya tanpa ada sebab apapun, setiap anak yang sering lewat di depannya selalu
menjadi bahan pembicaraan. Sifat ke-borjuis-an sebagai anak dari pendonatur
terbesar di sekolah, membuat banyak anak tidak ada yang berani sekaligus
kecantikannya menjadi perhatian tersendiri bagi para lelaki.
“Tumben kamu menyapaku, tidak biasanya seperti ini.” Kata ku agak
sengit.
“Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu.” Tambahnya
sedikit berbisik di telingaku.
Ternyata sebelum dia
mengatakan maksud dari kedatangannya, “kringg... kringg... kringg...” bel
berbunyi tiga kali menunjukkan pelajaran akan segera di mulai.
“Ku tunggu kau di taman, ok?” Desaknya agar aku tak berpikir
selain mengiyakan.
Bel menandakan waktu pelajaran telah berakhir. Aku masih
penasaran sebenarnya ada apa dibalik kepanggilanku. Atau jangan-jangan ada
rencana jahat yang ingin ia lakukan kepadaku, tapi tidak mungkin. Lagipula aku
tidak pernah punya hubungan apapun dengannya.
Sesampainya aku di taman ternyata Mira sudah menungguku lebih
dulu. Ia tak sendiri, di temani oleh dua teman yang selalu mendampinginya ke
manapun ia pergi, kecuali tempat yang tidak ia inginkan untuk ditemani oleh
siapapun.
“Eh Zer, besok setelah pulang sekolah kamu ada acara tidak?”
Tanyanya sesambil memberi senyuman menunjukkan keramahannya yang sebenarnya
jarang diberikan kepada orang lain. Pasti
ada maksud lain dibalik ini. Aku harus tetap hati-hati.
“Memang kenapa?” Tanyaku balik memastikan tujuan dari pertanyaannya.
“Emmm... sudah jawab dululah pertanyaanku.”
“Tidak ada.”
“Besok, aku ingin mengajakmu ke mall.”
“Hah, aku tidak salah dengar. Kamu mengajakku ke mall?”
“Iya, suer deh. Aku butuh rekomendasi dari kamu untuk membantuku
memilih barang yang ingin aku beli.”
“Kenapa kau harus memilihku?”
“Sepertinya kamu mempunyai kelebihan itu.”
Sejak kapan Mira bisa
mengenalku sedekat itu? Sepertinya itu hanya alasan buatan untuk memperkuat
alasannya mengajakku ke mall. Okelah, setidaknya tidak ada rugi juga kalau aku
menerima ajakannya. Tambah lagi jika ada kemungkinan dia mau mentraktirku.
“Okelah.” Jawabku singkat.
“Besok setelah pulang sekolah aku akan menjemputmu.”
Aku hanya membalas dengan
anggukan sembari berpikir keheranan
dengan sikapnya kepadaku.
*****
12 Februari,
In
Plaza Mall
“Memang apa yang ingin
kau beli?” Tanyaku sebagai awal pembicaraan.
“Aku ingin membeli sesuatu for
my special person.”
Aku sudah bisa menebak itu pasti untuk boy friend-nya. Apalagi ini adalah bulan Februari. Pastinya semua
orang sudah menebak ada apa di balik bulan ini. Valentine Days.
Mira menunjuk satu barang berbentuk lingkaran dengan hiasan
pecahan setengah hati di atasnya.
“Bagaimana menurutmu benda ini? Apakah cocok untuk dia?” Tanyanya
meminta pendapatku.
Meskipun Mira tidak bilang kepadaku seperti apa detailnya “dia”,
aku juga tidak begitu penasaran dan ingin tahu. “Kurasa cincin ini cocok,”
jawabku singkat. Tanpa berpikir panjang ia menerima masukanku.
“Kamu
lapar tidak? Ayo kita ke Chinese Food
Resto?” Ajaknya.
Sebelum
aku sempat berkata apa-apa, dia langsung menyeret tanganku. Berbagai macam makanan
khas China tersaji. Aku tak tahu apa yang harus kumakan karena aku sendiri tak
begitu menahu tentang makanan itu.
“Kamu mau pesan yang mana?” Tanyanya.
“Kamu serius ingin mentraktirku di restoran ini? Apakah tidak
terlalu mahal?”
“Tidak, sudahlah pesan yang menurutmu enak.”
Di saat aku menikmati makanan, tiba-tiba Mira menawarkan sesuatu,
“oh iya, besok malam aku rencana mau ke clubbing dengan teman-temanku. Kamu ikut yah?”
Sebenarnya tidak ada keinginan sedikitpun untuk ikut ke clubbing, tapi melihat perlakuannya yang
seperti ini kepadaku, aku tidak tega menolak permintaannya.
Jawab yang
kuberikan hanya diam. Setidaknya Mira tahu kalau aku tidak mengatakan “tidak”.
“Tapi kali ini
kamu harus berangkat sendiri yah? Karena mobilku akan diperbaiki di bengkel.
Jam 7 malam, bertepatan malam valentine. Ok?” Tegasnya.
*****
13 Februari,
19.00 WIB
(Night Before
Valentine Days)
Malam yang
ditentukan telah tiba. Aku tidak begitu peduli dengan pakaian apa yang
kukenakan malam ini. Tepat jam 7 malam aku sampai di sana. Mira dan
teman-temannya sudah stand by di
balik pintu. Sikap mereka menunjukkan sosok friendly.
Semakin berjalannya waktu aku merasa menyatu dengan ‘kebersamaan’ malam dan
‘ramain’ musik. Sudah lama kau tidak pernah merasakan suasana seperti ini.
Sangat berbeda dengan suasana rumah yang penuh dengan ‘cacian’ mama kepadaku.
Mereka semua di sini care padaku. Aku
seakan ada dan menyatu di tengah mereka. Aku mulai terlena. Tanpa kusadari,
sosok tubuh pria menghampiriku. Ia mengaku sebagai teman Mira dan memberikan
sesuatu padaku.
“Kamu Zeria kan?”
“Kenalkan aku
Febri teman Mira. Kamu mau?” Tawarnya dengan memberikan bungkus plastik kecil
berisi coklat dan ia mengucapkan Happy
Valentine Days. Tanpa rasa curiga sedikitpun, aku pun tersenyum dan
menerima pemberiannya. Setiap gigitan coklat yang kumakan semakin menambah
keinginanku untuk memakannya lebih banyak. Aku
ingin coklat itu lagi.
Dari titik itulah
aku sudah memasuki batas mereka. Mereka, para pecandu narkoba. Saat ini aku
sudah bukan lagi Zeria yang dikenal mama. Bahkan aku pikir mama tidak pernah
mengenalku.
*****
17 Februari,
(Catatan Mama)
Itulah Ternyata
tanggal 16 Februari adalah tanggal terakhir untuk anakku Zeria menulis semua
kisah di buku hariannya. Aku baru sadar sebagai mamanya tak pernah memberikan
motivasi dan penghargaan kepadanya.
Memang, sudah empat hari terakhir ini Zeria sering pulang
larut malam dan aku selalu memarahinya tanpa bertatap muka dan mengajaknya
berbicara terlebih dahulu. Aku memang seorang ibu yang payah. Meskipun demikian
aku masih bisa merasakan perubahan aneh yang terjadi pada anakku.
Teringat akan
hari-hari terakhirnya sebelum menghembuskan nafas terakhir.
“Zer, dari mana
saja kamu?” Tanya ku kepada Zeria setelah dia baru menginjakkan kaki di rumah
pukul 12 malam, “Hey kenapa dengan mukamu, pucat sekali.” Seketika itu Zeria
langsung pingsan. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dari mulutnya mengeluarkan
busa. Secepat mungkin aku menghubungi dokter yang sudah menjadi langgananku.
Dengan perasaan seorang ibu yang khawatir akan kondisi anaknya -atau mungkin
lebih tepatnya aku sebagai ibu yang tak berguna- terus berharap agar anakku
selamat. Sesampainya di rumah sakit, 10 menit berlalu telah menjadi menit
terakhir baginya. Zeria tak bisa terselamatkan. Dokter menyatakan kematian
Zeria karena overdosis
obat-obatan. Seperti inikah nasib terakhir yang menimpa anakku. Aku tak percaya
semua ini. Ini semua adalah kelalaianku sebagai seorang ibu.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar