Sabtu, 23 Agustus 2014

Disorientasi Pendidikan Sekedar Cari Nilai, Kerja, dan Dijadikan Barang Komersial



                Sebuah album yang berisi catatan perjalan hidup siswi SMA yang bersekolah di Amerika. “Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada...... Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….” (www.americaviaerica.blogspot.com). Ini merupakan ungkapan seorang siswi yang merasa sekolah adalah pekerjaan. Otaknya hanya disetir untuk mencari nilai tinggi. Dan baginya, pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya.

Pernyataan seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Prof. Mohammad Nuh “Kalau tidak lulus UN, mereka tidak dapat ijazah, dan akhirnya tidak bisa kerja juga.” Seolah dengan bekerja kesuksesan tertinggi telah teraih. Sesempit itukah cara berfikir seseorang? Bagaimana tidak cara berfikir seperti itu muncul ketika pendidikan sudah mulai terkomersilkan. Masuk sekolah atau perguruan tinggi dengan biaya mahal. Lantas untuk mendapatkan biaya itu kembali output peserta didik harus bisa mendapatkan nilai tinggi, ijazah, gelar sehingga bisa diterima diperusahaan, kaya raya. Ketika kelak berkeluarga dapat menyekolahkan anaknya kembali. Siklus hidup bagaikan siklus terbentuknya hujan. Itu saja! Meskipun pada faktanya semakin tinggi pendidikan seseorang tidak ada jaminan mendapatkan pekerjaan sesuai tingkat pendidikannya.
Tidak Sejalan Dengan Perbaikan Moral
        
           Pesan kecil yang dikutip dari Human Development Index (HDI) Indonesia, “Seharusnya pendidikan memberikan efek yang saling melengkapi antara kemampuan akademis, moral, dan sosial.” Padahal dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 adalah “Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Mutu pendidikan Indonesia bisa terlihat dari HDI 2013 yang meraih peringkat ke-121 dari 186 negara dan 8 negara-teritori sehingga Indonesia menempati kelas  Medium Human Development. 

Undang-Undang yang diberlakukan di Indonesia jarang sekali selaras dengan aspek implementatif. Bagaimana output peserta didik kriteria pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 bisa terpenuhi jika masih diberlakukan konsep link and match (keberkaitan dan keberpadanan) antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Seolah memberikan pesan tersirat bahwa produk dari sistem pendidikan adalah generasi tukang. Generasi muda diberlakukan layaknya mesin yang dipekerjakan saat diperintah dengan iming-iming setumpuk uang. Tentu, meskipun diberlakukannya konsep ini tidak dapat menjamin setiap lulusan terdidik mendapat kerja. Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengungkapkan, 610 ribu dari total 7,17 juta pengangguran terbuka di Indonesia, adalah "pengangguran intelektual" atau dari kalangan lulusan universitas. (www.tribunnews.com). 

Bahkan kurikulum baru, kurikulum 2013, lebih banyak disoroti sebagai bermuatan politis persaingan mereka-mereka menuju pemilu 2014 daripada upaya besar bangsa ini menyiapkan generasi baru yang siap bertarung di arena global. (www.edukasi.kompasiana.com/2013/03/05).

Hal ini telah mengindikasikan bahwa pendidikan saat ini sudah menjadi barang komersil lantaran bisa mendatangkan keuntungan. Ketika materi telah menjadi tolak ukur menjadi kewajaran –yang tidak layak– orientasi pendidikan terus tergerus. Pendidikan tidak lagi dijadikan sebagai tempat yang nyaman untuk mencerdaskan peserta didik menjadi generasi berjiwa pemimpin, menjadi pelopor di segala bidang kehidupan, dan matang dalam merancang masa depan. Banyak lulusan SMA atau sarjana, tapi hanya sedikit yang benar-benar mumpuni dalam bidangnya. Bagi mereka yang pintar pun, kepintarannya telah dieksploitasi demi kepentingan kapitalis global. Itu yang terjadi pada kebanyakan masyarakat akibat sistem pendidikan yang terkapitalisasi saat ini. 

Saat itulah fokus moral sudah tak dianggap penting lagi. Sudah banyak praktik jual beli gelar dengan menawarkan jasa pembuatan ijazah palsu. Diperparah lagi dengan pemberitaan pedofilia Maret lalu di JIS yang menimpa beberapa murid TK. Bahkan berbagai pemberitaan di televisi setiap harinya tidak terlepas dari kasus pedofilia yang merebak di beberapa daerah. Belum lagi kasus tawuran pelajar di DKI Jakarta sebanyak 112 kasus pada 2013 juga mengalami peningkatan. Aksi pembunuhan yang dilakukan anak SD kepada temannya sendiri yang jika ditinjau lebih dalam merupakan akibat kejahatan sistemik. Peran pendidikan seolah tidak berbekas sama sekali. Kerasnya ospek perkuliahan sampai menewaskan seorang mahasiswa di Malang. Belum lagi kasus yang terjadi di luar negeri, Tel Aviv, sebuah kota metropolitan di Israel. Sebanyak 7 siswa SMP tertular penyakit HIV setelah tidur dengan PSK yang memberikan pelayanan tidur gratis.

Prestasi akademik pun tidak dapat menjamin seseorang bisa memiliki kepribadian kuat. Ignatius Ryan Tumiwa, pria penderita depresi yang sempat menyatakan keinginannya untuk disuntik mati, menurut informasi yang diperoleh ternyata pernah menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Indonesia. Cukup mengejutkan ternyata Ryan lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,37. (www. kesehatan.kompasiana.com).

Tidak akan ada habisnya ketika permasalahan yang diakibatkan sistem pendidikan sekarang dikupas satu per satu. Siapa yang akan bertanggung jawab atas kebejatan ini? Individu, keluarga, lingkungan, atau...negaralah yang seharusnya bertanggung jawab penuh?

Memang Sudah Seharusnya Tanggung Jawab Negara

                Terlebih dahulu harus dipahami sejatinya tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian khas dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan seharusnya dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Adapun setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang. Tujuan seperti hanya ada pada sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, pendidikan merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh Negara. Sehingga Negara akan berupaya maksimal agar seluruh rakyat mendapatkan hak mereka dengan pendidikan yang berkualitas secara cuma-cuma. Dan kurikulum pendidikan hanya berbasis pada akidah Islam. Peserta didik akan dipahamkan bahwa Islam adalah agama sempurna yang mencakup seluruh aturan hidup manusia dan satu-satunya yang layak untuk dijadikan jalan hidup.
                Secara terperinci ada dua tujuan pokok pendidikan. Pertama, membangun kepribadian Islami, pola pikir (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah) bagi umat, yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku Islami ke dalam akal dan jiwa anak didik. Karenya dibutuhkan sebuah Negara (Daulah Khilafah) untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum pendidikan agar tujuan ini terealisasi. Kedua, mempersiapkan anak-anak kaum Muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu ke-Islaman (ijtihad, fiqih, peradilan, dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain).
                Demi tercapainya keutuhan tujuan pokok pendidikan tersebut Negara akan senantiasa mencegah siapa saja yang menyerukan pemikiran atau konsep selain yang didasarkan pada akidah Islam. Bisa dibayangkan model pendidikan seperti ini betul-betul menghasilkan sosok ilmuan sejati yang juga matang iman. Secara alamiah, akhlakul karimah pun akan senantiasa menghiasi setiap detik aktivitas mereka. Akan sangat jauh dari istilah pasar atau industri yang hanya sekedar menguntungkan segelintir pihak dengan menumbalkan sebagian besar masyarakat.
                Lihatlah bagaimana ilmuan-ilmuan Islam terdahulu mahir dalam segala bidang. Imam Syafii dengan karya tulisannya sebanyak 113 kitab tentang tafsir, fikih, adab, dan lain-lain. Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi, ilmuan pertama yang membuat penjelasan seputar penyakit cacar karena kemahirannya dalam bidang kedokteran, kimia, dan lain-lain. Ibnu Haitham, seorang ilmuan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Al Khindi  ahli adalah ilmuwan ensiklopedi, pengarang 270 buku, ahli matematika, fisika, musik, kedokteran, farmasi, geografi, ahli filsafat Arab dan Yunani kuno. Al Khindi, ilmuan ensiklopedi, pengarang 270 buku, ahli matematika, fisika, musik, kedokteran, farmasi, geografi, ahli filsafat Arab dan Yunani kuno. Muhammad al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel –sebuah kota yang bergelar The City with Perfect Defense– karena kecerdasan yang luar biasa dan kekuatan imannya kepada Allah. Sampai-sampai beliau tidak pernah masbuk dalam sholat berjamaah. Subhanallah, Allahu Akbar!
                Mereka adalah hasil cetakan dari sebuah sistem mulia, sebuah sistem yang benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pelayan umat. Dan sistem seperti itu hanya ada pada sistem Islam yang berlandaskan keimanan pada Allah semata.
                Semua itu tidak akan berarti tanpa adanya sebuah institusi (sistem Islam) yang akan menjamin keberlangsungannya. Sistem Islamlah yang akan membuktikan sepanjang penerapannya adalah rahmat bagi seluruh penduduk bumi. Oleh karenanya, butuh kesadaran dari kaum Muslim akan penting dan wajibnya menjadikan Islam sebagai jalan hidup sebuah negara. Sehingga terwujudnya sebuah institusi yang berlandaskan hukum Allah bukanlah hal mustahil. Sudah menjadi janji Allah akan ada masa di mana hukum Allah dijadikan sebagai hukum tertinggi.[justice aidoru]


Rabu, 26 Februari 2014

Amanah Dakwah Banyak, Nilai Makin Anjlok Dong? Oh Yah???


Terlintas pertanyaan adik kelas, kalau pengemban dakwah tetapi nilainya jelek sama aja dong?


Betul kah? Atau justru pertanyaan tersebut tidak bisa dikomparasikan?

Beberapa hari yang lalu aku hendak melaksanakan amanah dakwah tercampur juga dengan sedikit rasa puas menerima IPK yaaa setidaknya sudah melebihi 3 koma lah. Di perjalanan melewati jalan yang lurus membuatku ingat pertanyaan di atas. Aku jadi menyesal telah memberikan jawaban yang nggak sesuai –waktu itu– dengan jawaban yang baru aku temukan sekarang. Dulu aku menjawab yang intinya, kalau pengemban dakwah yang ikhlas berjuang di jalan Allah setidaknya nilai minimal pasti sedang atau pas rata-ratalah. Kita belajar untuk mendapatkan hasil terbaik dan bagus itu juga bisa mempromosikan dakwah. Bahwa sebenarnya pengemban dakwah di samping kesibukannya juga bisa mendapatkan nilai bagus. Dan Allah juga sudah berjanji barang siapa yang menolong agama Allah pasti Allah akan menolongnya. Itu jawaban yang aku utarakan dulu. Dan jawabanku itu seolah-olah memberikan kesimpulan, "ya udah, kalo gitu dakwah aja deh. Kan setidaknya aku bakal dapat nilainya pas rata-rata." Mungkin akan menguntungkan juga kali yah buat orang-orang yang nilainya sering di bawah rata-rata. Hahah.

Tapi setelah aku pikir-pikir kembali, sepertinya nggak semua jawabanku tepat. Jadi aku cabut kembali sebagian pernyataanku dulu. 

Justru antara pengemban dakwah dan nilai pelajaran tidak bisa dibandingkan. Lantas, apakah saat kita fokus di jalan dakwah sehingga fokus di pelajaran berkurang, lalu begitu saja nilai kita jelek. Atau saat kita fokus ke pelajaran sampai-sampai ketika mendapatkan amanah dakwah ditolak karena sibuk belajar. Jaminkah bisa dapat nilai bagus? So, aku pikir tidak ada kaitannya antara amanah dakwah dan nilai. Bahwa semua itu tidak bisa diukur secara kuantitas yang berbanding terbalik. Semakin banyak amanah dakwah, semakin jelek nilai pelajaran. Semakin sedikit amanah dakwah, semakin bagus nilai pelajarannya. Tidaklah semudah itu.

Mungkin lebih tepat jika pertanyaannya seperti ini, meskipun kita pengemban dakwah bagaimana kita bisa mempertahankan nilai agar tetap bagus? Nah, yang ini lebih enak. Dan jawabannya pun nggak bakal jungkat-jungkit.

Pahami dulu bahwa sebenarnya seorang muslim itu wajib menuntut ilmu. Allah cinta dengan orang yang bersungguh-sungguh belajar dan mendalami ilmu di bidang farmasi misalnya atau di bidang lainnya demi kemaslahatan penduduk bumi. Apalagi dakwah. Waahh, jangan ditanya lagi ini sudah jelas wajib ain bagi setiap muslim. Makanya, hanya di tangan orang yang beriman kepada Allahlah semua itu akan berjalan seimbang, bukan di tangan orang-orang yang mengambang. Karena orang beriman, melandaskan semua aktifitasnya dengan keikhlasan.

Selanjutnya, kuncinya ada pada kecerdasan kita mengatur waktu. Jadikan waktu ada di bawah kendali penuh oleh kita sendiri. Kitalah yang akan menjadi manajer waktu bagi diri sendiri. Sudahlah beriman kepada Allah, kecerdasan waktu juga ada pada kita. Sudahlah lezat!!! Dan agar kelezatan itu semakin mantap, perlu dilakukan deteksi dini mulai dari bahan-bahan yang bisa menghilangkan kelezatan.
  1. Kalau mulut mulai hoam-hoam, tangan mulai garuk-garuk kepala, mata mulai kedap-kedip, dan molet menjadi hal paling nikmat. Awas, tanda-tanda tubuh sudah teracuni dengan bahan-bahan kemalasan. Islam tidak pernah mengajari umatnya untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG (Malas Selalu Gagal). Tapi kalau udah terlanjur makan, langsung saja segarkan tenggorokan dengan hadist ini.
    "Allah SWT mencela sikap lemah, tidak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cekatan, namun jika kamu tetap terkalahkan oleh suatu perkara, maka kamu berucap 'cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Allah sebaik-baik pelindung." (HR Abu Dawud) 
    Suatu hari Rasulullah SAW pernah berdoa, "Ya Allah, hamba meminta perlindungan kepadaMu dari kecemasan dan kesedihan." Sebab, cemas dan sedih, keduanya juga bersumber dari malas dan lemah. So, berhati-hatilah melihat ingredients makanan.


  2. Hindari makanan yang bermerek  Masih Lama Ah, Belum Waktunya Kok, Nanti Aja. Dijamin itu merek bisa menghipnotis orang lupa akan waktu. Islam nggak pernah jual makan yang bermerek seperti itu. Istilah kerennya berasal dari bahasa Arab, Taswiif (menunda waktu).
 
Dari ibn Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: “Raihlah lima kesempatan sebelum datangnya lima kesempitan. Masa mudamu sebelum datangnya masa tuamu, masa sehatmu sebelum datangnya masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, waktu luangmu sebelum datangnya waktu sempitmu dan masa hidupmu sebelum datangnya masa matimu. (Diriwayatkan oleh Imam al-Haakiim dalam al-Mustadrak)

Sejauh aku berpikir masih dua poin ini yang menjadi dasar kegagalan. Barangkali ada yang kurang silahkan ditambah sendiri, hihih. 

Nah, kalau sudah pintar-pintarnya kita melakukan deteksi dini bahan-bahan ber’penyakit’ tersebut sekaligus kita sudah mampu menjauhkannya dari tubuh. Selanjutnya, akan mudah bagi kita untuk melakukan orentasi perbuatan sehingga aktifitas hidup akan lancar.

Ini juga menjadi intropeksi bagi diri saya pribadi. Lebih baik menampar diri sendiri terlebih dahulu sebelum orang lain. Kalau bilangin diri sendiri dan orang lain memang mudah, tinggal aja bilang lewat tulisan atau ngomong. Tapi nggak semua orang bisa –kata Ustadz Felix– DO IT. [Justice Aidoru]



Dari D Bisa Jadi A



Mungkin nggak, mungkin nggak...heheh. Begini ceritanya...

UAS udah selesai dan saatnya menanti IPK keluar. Beberapa hari yang lalu, saat aku membuka web page cybercampus IPK-ku sudah muncul. Dan, WHATT??? Nilai falsafah kefarmasianku dapet D. Nggak mungkin...nggak mungkin... 

Sebelum nilai falsafah ini keluar, IPK-ku...yaaa...lumayan lah. Tapi setelah huruf D itu muncul, IPK anjlok sudah. Masa nilai falsafah separah ini? Se-nggak bisanya aku di matkul yang lain masih dapet C. Padahal aku tidak merasa kesulitan saat menjawab soal UTS dan UAS falsafah. Tapi kenapa nilai akhirnya D? Galau deh. Eh nggak galau ding. Mikir maksudnya, hehe. Dapat nilai segitu di kampus aja udah takut, padahal masih ada kesempatan perbaikan tahun depan. Lantas bagaimana saat aku harus mendapatkan IPK (Indeks Pertanggungjawaban Kelak) dihadapan Allah. Akankah aku mendapatkannya dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri sambil membelakangi Sang Hakim yang Mahaadil? Yang ini nggak ada kesempatan kedua kalinya untuk memperbaiki diri. Naudzubillah... #MuhasabahYuk!

Aku sangat tidak puas melihat nilai D tertera di kolom Histori Nilai. Atau jangan-jangan dosennya yang salah yah? Mungkin. Nggak ada salahnya kalau aku cek nilai ke dosen. Berhubung waktu sudah malam, saat itu juga aku menghubungi beliau via HP. Agak takut sebenarnya kalau hubungi dosen di luar jam kerja. Biasanya kalau udah malam, banyak dosen yang nggak suka di’ganggu’ mahasiswa karena it’s happy family. Tapi harus kulakukan demi nilaiku. Pertama dengar suaranya “HALO!!!” dari HP aja uda deg-degan. Lalu aku menceritakan bagaimana shock-nya aku melihat nilai seburuk itu dan bertanya apakah aku diperbolehkan melihat rincian nilai. 

Kebetulan beliaulah yang bertugas meng-input nilai. Beberapa hari kemudian aku di suruh menuju ruangannya untuk melihat rincian nilaiku. Beliau sudah ada di depan laptopnya dan menanyaiku nama panjang, kelas, NIM. Huh, berharap ada perubahan ekspresi wajahnya melihat ada kolom yang kosong, barangkali. Subhanallah, keajaiban terjadi (agak hiper). Betul, salah satu kolom nilai falsafahku ada yang kosong. Setiap kali matkul falsafah kefarmasian aku selalu hadir kok. Kenapa bisa kosong? Setelah ditelusuri, kesalahan ada pada dosen yang mengkoreksi lembar jawaban mahasiswa. Ternyata lembar jawaban UAS-ku terselip diantara lembar jawaban mahasiswa yang lain. Jadinya terlewat.

“Pak, kira-kira kapan saya bisa melihat nilai falsafah saya di cyber?”

Dan kali ini fabulous (makin hiper).

“Kamu dapat A, nanti malam mungkin akan dirubah.

Alhamdulillah. Subhanallah. Dari D bisa jadi A. Huh, lega rasanya dan IPK bisa naik. Sebenarnya sedikit kurang puas sih karena nggak mencapai target awalku. But, no prob. Setidaknya nggak kecewa dengan hasilku melihat usaha yang kukerahkan sepertinya sesuai dengan hasil. Coba bayangkan apa jadinya kalau aku nggak respect terhadap nilaiku. Membiarkan nilai D jadi ‘hiasan’ di Histori Nilai selamanya. Anehnya, kenapa dosen nggak curiga yah kalau ada kolom nilai yang kosong. Padahal di situ sudah jelas ada tanda tangan kehadiranku. Yaah maklum, kelas sudah terlalu rimbun untuk ditumbuhi beribu-ribu mahasiswa.

Jadi, hikmah yang bisa diambil dari kejadian di atas adalah be respect on your self begitu pula respect terhadap sesuatu yang ada di sekelilingmu. Kesalahan yang terlihat sepele bisa berdampak besar kalau itu dibiarkan.

Selasa, 18 Februari 2014

Jujur Dipersulit, Mau Lancar Harus Nambah Duit

Ternyata banyak pengalaman itu mengasyikkan. Belum bilang pengalamannya terkategori bagus atau tidak yah... Setidaknya setiap pengalaman pasti akan memberikan pelajaran dan ternyata betul. Aku punya cerita based on my experience. Cerita ini berawal dari aku yang sering kena tilang karena melanggar aturan lalu lintas (pisss). Sehingga aku putuskan untuk segera mengurus SIM. Hari senin tanggal 17 Februari kemarin, temanku berencana mau ngurus SIM C dengan ditemani ibunya. Mumpung ada barengan, sekalian deh aku juga ikut ngurus SIM.

Sesampainya di tempat kepolisian, kami bertiga tidak tahu bagaimana mekanisme pembuatan SIM. Meskipun ibunya temanku yang pastinya sudah punya SIM C lebih dulu sudah lupa bagaimana cara ngurus SIM. Akhirnya kami bertanya kepada petugas berbaju putih yang ada di pos pantau.

(Ibu temanku aku kasih inisial Bu A, temanku berinisial F)

Bu A: Pak, anak saya mau ngurus SIM. Ini bagaimana?

Petugas: SIM baru?

Bu A: Iya.

Petugas: Silahkan ke tempat cek kesehatan kepolisian. Keluar gerbang dulu, belok kiri jalan terus nanti ada palangnya di seberang kanan jalan.

Kami bertiga masih terlihat bingung. Barangkali kebingungan kami terbaca oleh petugas, dan langsung dikasih penawaran deh.

            Petugas: Perlu kami BANTU?

            Kenapa kata BANTU pake huruf kapital? Kata ‘BANTU’ di zaman sekarang ambigu dan tidak bisa dimaknai bantuan setulus hati. ADA MAKSUD!!! Pasti udah pada tahu deh buat yang pernah ngurus SIM tapi nggak pernah merasakan ribetnya ngurus SIM, karena diBANTU.

            Nah, karena kami bertiga juga ragu dengan maksud pak petugas dengan penawaran bantuannya. Akhirnya, kami putuskan untuk tidak menerima bantuannya. Dan ini yang makin membuat kami bingung. Tuh orang beneran tugas resmi kepolisian atau bukan sih? Kok pake nawarin BANTU segala. Tapi nongkrongnya di pos pantau kepolisian. Aah, tau deh!

Kami berjalan menuju tempat cek kesehatan, wiiihh banyak bapak-bapak seliwar-seliwir nggak jelas di pinggir jalan. Dan salah satu dari bapak itu mendekatiku.

(untuk bapak nggak jelas, aku kasih inisial Gj)

            Gj: Mbak…mau ngurus SIM yah?

            Aku: (karena udah tahu maksudnya, aku pasang aja muka jutek) iya!

            Gj: Perlu DIBANTU mbak? Langsung prosesnya, cepat, langsung dapet SIM. Mau?

            Tuh kan! BANTU itu bermaksud. Apa coba kalau bukan minta bayaran lebih. Kalau aku mau uangnya masuk kantong tu bapak Gj dong, enak aja. Cari kerjaan yang halal dikit kek pak, nggak malakin orang gitu…(emang halal ada dikitnya yah? Hahah)

             Aku: nggak usah Pak, kami udah ngurus di dalam.

             Seusai cek, kami menuju tempat kepolisian dan bertanya kepada petugas tahap lanjutan pembuatan SIM. Nih, aku kasih langkah-langkahnya barangkali bisa membantu. Eittss… ini bantuan asli loh, tulus, nggak pake embel-embel. Setelah cek kesehatan, serahkan hasil cek kesehatan di tempat pengambilan formulir untuk ditukar dengan formulir lalu diisi. Setelah itu, petugas akan memberikan arahan untuk menuju ke Knowledge Room. Itu adalah ruang yang disediakan untuk belajar atau ruang ilmu sebelum pemohon mengikuti tes teori. Di seluruh dinding ruangan banyak foto kecelakan yang, iiiihhh seremmm, dan symbol-simbol aturan lalu lintas. Disetiap kursinya sudah disediakan buku latihan menjawab soal. Beberapa menit kemudian bapak polisi masuk ke Knowledge Room lalu memberikan sosialisasi berkendara sesuai aturan lalu lintas.

             Selanjutnya masuk ke ruang tes teori. Agak nerves sih! Alay yak, padahal cuma tes gitu doang. Gitu doang, tapi ternyata hasilku cuma 70, heheh. Yang pentingkan “Anda Dinyatakan Lulus”. Dari 30 soal yang diberi, 18 harus betul. Jawabnya enak, tinggak klik tombol A/B/C/D di keyboard. Setelah 30 soal terjawab otomatis muncul hasilnya. Tiap soal diberi waktu menjawab 3o detik. Lebih dari itu soal otomatis pindah ke nomor selanjutnya.

              Petugas: Langsung menuju ke tempat praktik ya mbak.

              Waahh, langsung praktik. Tapi setelah melihat medan praktik yang seperti itu, nerves muncul lagi kali ini lebih hebat. Praktiknya nggak mudah seperti kita kalo berkendara motor di jalan bebas terserah kita mau jalan cepet atau lambat. Sebelum praktik kami harus memakai baju seperti bajunya tersangka-tersangka yang dipenjara itu berwarna biru dan diberi contoh terlebih dahulu bagaimana cara melaksanakan praktik berkendara motor sesuai medan yang berbeda-beda. Ada jalan zig zag. Yang parah lagi dan yang aku pikir medan paling sulit diantara yang lain adalah jalan membentuk angka 8. Itupun ban tidak boleh cross line dan kaki tidak boleh sampai menyentuh aspal, dilakukan sebanyak dua kali. Di medan ini aku kelihatan tidak lancar karena aku susah menjaga keseimbangan dan hampir jatuh tapi nggak jadi. Akhirnya selesai juga melewati angka 8. Selanjutnya melewati jalan lurus tanpa memutar gas dengan tangan kanan melambai-lambai. Setelah itu melewati jalan lurus sempit dengan kecepatan yang sangattt pelan. Selanjutnya melewati 10 polisi tidur seingatku. Dan terakhir melewati jalanan menanjak. Selesai J. Huh…

               Petugas: Kamu lulus, langsung ke loket 4.

               Aku: Alhamdulillah…

               Akhirnya. Kalau kata tetanggaku ngurus SIM nggak mudah bahkan dia harus bolak-bolik ke kepolisian empat kali karena nggak lulus tes praktik. Tapi sayangnya, temanku F tidak lulus karena mendapat teguran petugas. Saat melewati jalan lurus sempit kecepatan berkendaranya terlalu cepat. Padahal saat melewati angka 8, dia lebih lancar loh daripada aku. Tetap aja nggak lulus. Gitu aja nggak dilulusin. Dan petugas tetap memberi kesempatan tapi 2 minggu lagi. Beuhh!!! Giliran bertindak jujur aja dipersulit. Tuh lihat, nggak sadar banyak calo berkeliaran nggak jelas itu atau pura-pura tidak tahu??? Kalau mau mempersulit, yaa cocoknya mereka aja. Bahkan kalau perlu ditangkap.

               Bu A dan temanku F pulang pastinya dengan kekecewaan. Sudahlah berjalan sesuai prosedur yang panjang. Kita berangkat dari rumah itu jam 7 pagi, selesai praktik sekitar jam 11 loh. Salah sedikit langsung tidak diluluskan. Di loket 4 aku diarahkan untuk melakukan pembayaran di bank yang sudah tersedia di tempat sebesar 100.000. Tapi kalau di calo atau bapak-bapak Gj itu bisa berlipat-lipat. Cepat sih, tapi mau kalau uang yang kita keluarkan banyak-banyak itu masuk ke ‘kas-kas’ illegal.

                Menunggu kurang lebih 20 menitan untuk SIM jadi. Dan akhirnya yee… SIM atas nama Azimatur Rosyida ada di tanganku. Waahh, bangganya diriku serasa menjadi wanita seutuhnya, hahah.Yang bikin heran, kenapa tinggiku 165 cm yah? Tapi kata petugasnya it’s ok. Tinggi badan nggak pengaruh, yang penting nama, alamat, tanggal lahir betul.

                Dan…ini dia. Sebenarnya point ceritanya ada di sini. Saat aku menunggu gilliran foto SIM. Tiba-tiba aku melihat Bu A masuk ke ruang yang sama denganku. Bukannya tadi sudah pulang yah?

                “Sebentar, mau ngurus dulu.” Sapanya tiba-tiba melihat ke arahku

                Hah? Ngurus apaan? Aah, sudahlah. Aku pulang. Sesampainya di rumah, I got massage.

                F: Aku lg antri foto loh!

                Aku: Hah, kok bs?

                F: Iy, td ibuku yg urus.

                Aku: Emng ibumu ngomong gmn ke petugas kok bs lulus?

                F: nggk tau, lama td urusannya.

                Dari seseorang aku tahu bagaimana ceritanya. Saat Bu A dan si F beranjak pulang, entah bagaimana detail ceritanya, intinya Bu A menyampaikan keluh kesah seperti ini kepada salah satu petugas kepolisian.

                Bu A: Iya pak, anak saya nggak lulus tes praktik. Padahal cuma lewat jalan pendek sempit dan harus pelan. Nah, anak saya itu terlalu cepat. Padahal nggak ada keterangan batasan kecepatannya berapa, harus sepelan apa. Bagaimana bisa tahu itu sudah masuk standar lambat atau cepat. Tapi ya nggak diluluskan.

                Petugas: O gitu ya Bu, kalau keputusan memang bukan wewenang kami. Coba Ibu masuk ke dalam lagi dan menemui Pak tiiiitttt. Ibu bisa menyampaikan ke beliau.

                Bu A dan si F kembali ke dalam ruangan lalu menemui Pak tiiittt.

                Pak tiiittt: Ya Bu, silahkan. Ada yang bisa dibantu.

                Bu A: Begini pak, saya sudah berusaha mendisiplinkan anak saya, mendorong anak saya untuk bikin SIM karena SIM itu penting, mengajarinya jujur berjalan sesuai mekanisme. Tapi hanya karena hal seperti ini anak saya tidak diluluskan. Sebenarnya bukan itu permasalahannya. Padahal di luar Pak, ada yang tiba-tiba langsung ikut foto tanpa mengikuti proses sebelumnya.

                Pak tiiittt: Oooh, masa sih Bu?

                Bu A: Tadi saya sempat di tawari 360.000 dapat SIM cepat. Saya menolak Pak.

                Pak tiiittt: Masa sih Bu? Di sini sudah tidak ada calo kok Bu. Mungkin itu yang di luar. Sudah, Ibu kembali 2 minggu lagi aja nggak papa.

                Bu A: Ya sudah. Pak, kalau saya kembali besok, saya akan menyamar dan akan saya foto orang-orang yang berbaju putih tadi lalu saya tunjukkan ke bapak biar bapak tahu kalau ternyata masih banyak calo di dalam dan nanti bapak bisa menindaklanjuti.

                Pak tiiittt: Begini Bu…… Sebenarnya ibu orang mana?

                Bu A: Saya orang Airlangga.

                Pak tiiittt: Suami Ibu?

                Bu A: Juga orang Airlangga.

                Pak tiiittt: Anak Ibu?

                Bu A: Sama Airlangga juga. Bahkan saya juga berencana buat SP (surat pembaca) kok pak kalau ternyata masih banyak percaloan bertebaran di kepolisian.

                Pak tiiittt: Oke…oke...Bu silahkan langsung urus ke bagian (lupa nama tempatnya).

                Saat Bu A akan beranjak ke tempat tersebut tiba-tiba ada seseorang yang mendampinginya. Ternyata orang itulah suruhan Pak tiiittt untuk membantu Bu A agar urusannya bisa selesai. Sesampainya di tempat tersebut, orang suruhan memberikan surat kecil bertulisakan TOLONG DIBANTU kepada petugas di tempat tersebut. Sudah, selesai urusannya dan biaya yang dikenakan tetap 100.000. Dapatlah SIM. Begitulah kondisi orang-orang yang katanya aparat penegak hukum. Entah mereka beneran terlalu polos dan lugu sehingga tidak tahu ada bapak-bapak Gj yang bahkan berkeliaran di dalam. Ataukah mereka berpura-pura menutup mata dan telinga? Tapi, melihat fakta di atas bagaimana kesimpulan pembaca?

                Baru di zaman sekarang aku menemui makna BANTU itu ambigu. Padahal kata ‘BANTU’ sesuai kamus dunia akhirat adalah kata yang suci, tulus, ikhlas, nggak pake ‘ekor’. Aku jadi bersyukur si F nggak jadi lulus tes awalnya. Setidaknya dengan curhatan yang dilakukan oleh Bu A kepada petugas kepolisian langsung, jadi bisa tertangkap basah deh kondisi sebenarnya aparat penegak hukum. Mungkin Allah membukakan jalan kali yahJJJ