Ternyata banyak pengalaman itu mengasyikkan. Belum bilang pengalamannya
terkategori bagus atau tidak yah... Setidaknya setiap pengalaman pasti akan
memberikan pelajaran dan ternyata betul. Aku punya cerita based on my experience. Cerita ini berawal dari aku yang sering kena tilang
karena melanggar aturan lalu lintas (pisss). Sehingga aku putuskan untuk segera
mengurus SIM. Hari senin tanggal 17 Februari kemarin, temanku berencana mau
ngurus SIM C dengan ditemani ibunya. Mumpung ada barengan, sekalian deh aku
juga ikut ngurus SIM.
Sesampainya di
tempat kepolisian, kami bertiga tidak tahu bagaimana mekanisme pembuatan SIM.
Meskipun ibunya temanku yang pastinya sudah punya SIM C lebih dulu sudah lupa
bagaimana cara ngurus SIM. Akhirnya kami bertanya kepada petugas berbaju putih
yang ada di pos pantau.
(Ibu temanku aku kasih inisial Bu A,
temanku berinisial F)
Bu A: Pak, anak
saya mau ngurus SIM. Ini bagaimana?
Petugas: SIM
baru?
Bu A: Iya.
Petugas:
Silahkan ke tempat cek kesehatan kepolisian. Keluar gerbang dulu, belok kiri
jalan terus nanti ada palangnya di seberang kanan jalan.
Kami bertiga
masih terlihat bingung. Barangkali kebingungan kami terbaca oleh petugas, dan
langsung dikasih penawaran deh.
Petugas:
Perlu kami BANTU?
Kenapa
kata BANTU pake huruf kapital? Kata ‘BANTU’ di zaman sekarang ambigu dan tidak
bisa dimaknai bantuan setulus hati. ADA MAKSUD!!! Pasti udah pada tahu deh buat
yang pernah ngurus SIM tapi nggak pernah merasakan ribetnya ngurus SIM, karena diBANTU.
Nah,
karena kami bertiga juga ragu dengan maksud pak petugas dengan penawaran
bantuannya. Akhirnya, kami putuskan untuk tidak menerima bantuannya. Dan ini
yang makin membuat kami bingung. Tuh orang beneran tugas resmi kepolisian atau
bukan sih? Kok pake nawarin BANTU segala. Tapi nongkrongnya di pos pantau
kepolisian. Aah, tau deh!
Kami berjalan
menuju tempat cek kesehatan, wiiihh banyak bapak-bapak seliwar-seliwir nggak
jelas di pinggir jalan. Dan salah satu dari bapak itu mendekatiku.
(untuk bapak nggak jelas, aku kasih inisial
Gj)
Gj:
Mbak…mau ngurus SIM yah?
Aku:
(karena udah tahu maksudnya, aku pasang aja muka jutek) iya!
Gj:
Perlu DIBANTU mbak? Langsung prosesnya, cepat, langsung dapet SIM. Mau?
Tuh
kan! BANTU itu bermaksud. Apa coba kalau bukan minta bayaran lebih. Kalau aku
mau uangnya masuk kantong tu bapak Gj dong, enak aja. Cari kerjaan yang halal
dikit kek pak, nggak malakin orang gitu…(emang halal ada dikitnya yah? Hahah)
Aku:
nggak usah Pak, kami udah ngurus di dalam.
Seusai
cek, kami menuju tempat kepolisian dan bertanya kepada petugas tahap lanjutan
pembuatan SIM. Nih, aku kasih langkah-langkahnya barangkali bisa membantu. Eittss…
ini bantuan asli loh, tulus, nggak pake embel-embel. Setelah cek kesehatan,
serahkan hasil cek kesehatan di tempat pengambilan formulir untuk ditukar
dengan formulir lalu diisi. Setelah itu, petugas akan memberikan arahan untuk
menuju ke Knowledge Room. Itu adalah ruang yang disediakan untuk belajar atau
ruang ilmu sebelum pemohon mengikuti tes teori. Di seluruh dinding ruangan banyak
foto kecelakan yang, iiiihhh seremmm, dan symbol-simbol aturan lalu lintas. Disetiap
kursinya sudah disediakan buku latihan menjawab soal. Beberapa menit kemudian
bapak polisi masuk ke Knowledge Room lalu memberikan sosialisasi berkendara
sesuai aturan lalu lintas.
Selanjutnya
masuk ke ruang tes teori. Agak nerves sih! Alay yak, padahal cuma tes gitu doang.
Gitu doang, tapi ternyata hasilku cuma 70, heheh. Yang pentingkan “Anda
Dinyatakan Lulus”. Dari 30 soal yang diberi, 18 harus betul. Jawabnya enak,
tinggak klik tombol A/B/C/D di keyboard. Setelah 30 soal terjawab otomatis
muncul hasilnya. Tiap soal diberi waktu menjawab 3o detik. Lebih dari
itu soal otomatis pindah ke nomor selanjutnya.
Petugas:
Langsung menuju ke tempat praktik ya mbak.
Waahh,
langsung praktik. Tapi setelah melihat medan praktik yang seperti itu, nerves
muncul lagi kali ini lebih hebat. Praktiknya nggak mudah seperti kita kalo
berkendara motor di jalan bebas terserah kita mau jalan cepet atau lambat. Sebelum
praktik kami harus memakai baju seperti bajunya tersangka-tersangka yang dipenjara
itu berwarna biru dan diberi contoh terlebih dahulu bagaimana cara melaksanakan
praktik berkendara motor sesuai medan yang berbeda-beda. Ada jalan zig zag. Yang
parah lagi dan yang aku pikir medan paling sulit diantara yang lain adalah
jalan membentuk angka 8. Itupun ban tidak boleh cross line dan kaki tidak boleh
sampai menyentuh aspal, dilakukan sebanyak dua kali. Di medan ini aku kelihatan
tidak lancar karena aku susah menjaga keseimbangan dan hampir jatuh tapi nggak
jadi. Akhirnya selesai juga melewati angka 8. Selanjutnya melewati jalan lurus
tanpa memutar gas dengan tangan kanan melambai-lambai. Setelah itu melewati
jalan lurus sempit dengan kecepatan yang sangattt pelan. Selanjutnya melewati
10 polisi tidur seingatku. Dan terakhir melewati jalanan menanjak. Selesai J. Huh…
Petugas:
Kamu lulus, langsung ke loket 4.
Aku:
Alhamdulillah…
Akhirnya.
Kalau kata tetanggaku ngurus SIM nggak mudah bahkan dia harus bolak-bolik ke
kepolisian empat kali karena nggak lulus tes praktik. Tapi sayangnya, temanku F
tidak lulus karena mendapat teguran petugas. Saat melewati jalan lurus sempit
kecepatan berkendaranya terlalu cepat. Padahal saat melewati angka 8, dia lebih
lancar loh daripada aku. Tetap aja nggak lulus. Gitu aja nggak dilulusin. Dan
petugas tetap memberi kesempatan tapi 2 minggu lagi. Beuhh!!! Giliran bertindak
jujur aja dipersulit. Tuh lihat, nggak sadar banyak calo berkeliaran nggak
jelas itu atau pura-pura tidak tahu??? Kalau mau mempersulit, yaa cocoknya
mereka aja. Bahkan kalau perlu ditangkap.
Bu
A dan temanku F pulang pastinya dengan kekecewaan. Sudahlah berjalan sesuai
prosedur yang panjang. Kita berangkat dari rumah itu jam 7 pagi, selesai
praktik sekitar jam 11 loh. Salah sedikit langsung tidak diluluskan. Di loket 4
aku diarahkan untuk melakukan pembayaran di bank yang sudah tersedia di tempat
sebesar 100.000. Tapi kalau di calo atau bapak-bapak Gj itu bisa
berlipat-lipat. Cepat sih, tapi mau kalau uang yang kita keluarkan
banyak-banyak itu masuk ke ‘kas-kas’ illegal.
Menunggu
kurang lebih 20 menitan untuk SIM jadi. Dan akhirnya yee… SIM atas nama
Azimatur Rosyida ada di tanganku. Waahh, bangganya diriku serasa menjadi wanita
seutuhnya, hahah.Yang bikin heran, kenapa tinggiku 165 cm yah? Tapi kata petugasnya it’s ok. Tinggi badan nggak pengaruh, yang penting nama, alamat, tanggal lahir betul.
Dan…ini
dia. Sebenarnya point ceritanya ada di sini. Saat aku menunggu gilliran foto
SIM. Tiba-tiba aku melihat Bu A masuk ke ruang yang sama denganku. Bukannya
tadi sudah pulang yah?
“Sebentar,
mau ngurus dulu.” Sapanya tiba-tiba melihat ke arahku
Hah?
Ngurus apaan? Aah, sudahlah. Aku pulang. Sesampainya di rumah, I got massage.
F:
Aku lg antri foto loh!
Aku:
Hah, kok bs?
F:
Iy, td ibuku yg urus.
Aku:
Emng ibumu ngomong gmn ke petugas kok bs lulus?
F:
nggk tau, lama td urusannya.
Dari
seseorang aku tahu bagaimana ceritanya. Saat Bu A dan si F beranjak pulang,
entah bagaimana detail ceritanya, intinya Bu A menyampaikan keluh kesah seperti
ini kepada salah satu petugas kepolisian.
Bu
A: Iya pak, anak saya nggak lulus tes praktik. Padahal cuma lewat jalan pendek
sempit dan harus pelan. Nah, anak saya itu terlalu cepat. Padahal nggak ada
keterangan batasan kecepatannya berapa, harus sepelan apa. Bagaimana bisa tahu
itu sudah masuk standar lambat atau cepat. Tapi ya nggak diluluskan.
Petugas:
O gitu ya Bu, kalau keputusan memang bukan wewenang kami. Coba Ibu masuk ke
dalam lagi dan menemui Pak tiiiitttt. Ibu bisa menyampaikan ke beliau.
Bu
A dan si F kembali ke dalam ruangan lalu menemui Pak tiiittt.
Pak
tiiittt: Ya Bu, silahkan. Ada yang bisa dibantu.
Bu
A: Begini pak, saya sudah berusaha mendisiplinkan anak saya, mendorong anak
saya untuk bikin SIM karena SIM itu penting, mengajarinya jujur berjalan sesuai
mekanisme. Tapi hanya karena hal seperti ini anak saya tidak diluluskan. Sebenarnya
bukan itu permasalahannya. Padahal di luar Pak, ada yang tiba-tiba langsung
ikut foto tanpa mengikuti proses sebelumnya.
Pak
tiiittt: Oooh, masa sih Bu?
Bu
A: Tadi saya sempat di tawari 360.000 dapat SIM cepat. Saya menolak Pak.
Pak
tiiittt: Masa sih Bu? Di sini sudah tidak ada calo kok Bu. Mungkin itu yang di
luar. Sudah, Ibu kembali 2 minggu lagi aja nggak papa.
Bu
A: Ya sudah. Pak, kalau saya kembali besok, saya akan menyamar dan akan saya foto
orang-orang yang berbaju putih tadi lalu saya tunjukkan ke bapak biar bapak
tahu kalau ternyata masih banyak calo di dalam dan nanti bapak bisa
menindaklanjuti.
Pak
tiiittt: Begini Bu…… Sebenarnya ibu orang mana?
Bu
A: Saya orang Airlangga.
Pak
tiiittt: Suami Ibu?
Bu
A: Juga orang Airlangga.
Pak
tiiittt: Anak Ibu?
Bu
A: Sama Airlangga juga. Bahkan saya juga berencana buat SP (surat pembaca) kok
pak kalau ternyata masih banyak percaloan bertebaran di kepolisian.
Pak
tiiittt: Oke…oke...Bu silahkan langsung urus ke bagian (lupa nama tempatnya).
Saat
Bu A akan beranjak ke tempat tersebut tiba-tiba ada seseorang yang
mendampinginya. Ternyata orang itulah suruhan Pak tiiittt untuk membantu Bu A
agar urusannya bisa selesai. Sesampainya di tempat tersebut, orang suruhan
memberikan surat kecil bertulisakan TOLONG DIBANTU kepada petugas di tempat
tersebut. Sudah, selesai urusannya dan biaya yang dikenakan tetap 100.000.
Dapatlah SIM. Begitulah kondisi orang-orang yang katanya aparat penegak hukum. Entah
mereka beneran terlalu polos dan lugu sehingga tidak tahu ada bapak-bapak Gj
yang bahkan berkeliaran di dalam. Ataukah mereka berpura-pura menutup mata dan
telinga? Tapi, melihat fakta di atas bagaimana kesimpulan pembaca?
Baru
di zaman sekarang aku menemui makna BANTU itu ambigu. Padahal kata ‘BANTU’
sesuai kamus dunia akhirat adalah kata yang suci, tulus, ikhlas, nggak pake ‘ekor’.
Aku jadi bersyukur si F nggak jadi lulus tes awalnya. Setidaknya dengan
curhatan yang dilakukan oleh Bu A kepada petugas kepolisian langsung, jadi bisa
tertangkap basah deh kondisi sebenarnya aparat penegak hukum. Mungkin Allah
membukakan jalan kali yahJJJ
Congratulation yak :)
BalasHapusPolisi yang dilengkapi persenjataan ternyata takut ama Airlangga. mendingan saya, sekalipun "gak punya apa2" tapi gak takut sedikitpun ama Airlangga, tapi takut sama Polisi ( he...he...he...)
BalasHapus