Selasa, 18 Februari 2014

Jujur Dipersulit, Mau Lancar Harus Nambah Duit

Ternyata banyak pengalaman itu mengasyikkan. Belum bilang pengalamannya terkategori bagus atau tidak yah... Setidaknya setiap pengalaman pasti akan memberikan pelajaran dan ternyata betul. Aku punya cerita based on my experience. Cerita ini berawal dari aku yang sering kena tilang karena melanggar aturan lalu lintas (pisss). Sehingga aku putuskan untuk segera mengurus SIM. Hari senin tanggal 17 Februari kemarin, temanku berencana mau ngurus SIM C dengan ditemani ibunya. Mumpung ada barengan, sekalian deh aku juga ikut ngurus SIM.

Sesampainya di tempat kepolisian, kami bertiga tidak tahu bagaimana mekanisme pembuatan SIM. Meskipun ibunya temanku yang pastinya sudah punya SIM C lebih dulu sudah lupa bagaimana cara ngurus SIM. Akhirnya kami bertanya kepada petugas berbaju putih yang ada di pos pantau.

(Ibu temanku aku kasih inisial Bu A, temanku berinisial F)

Bu A: Pak, anak saya mau ngurus SIM. Ini bagaimana?

Petugas: SIM baru?

Bu A: Iya.

Petugas: Silahkan ke tempat cek kesehatan kepolisian. Keluar gerbang dulu, belok kiri jalan terus nanti ada palangnya di seberang kanan jalan.

Kami bertiga masih terlihat bingung. Barangkali kebingungan kami terbaca oleh petugas, dan langsung dikasih penawaran deh.

            Petugas: Perlu kami BANTU?

            Kenapa kata BANTU pake huruf kapital? Kata ‘BANTU’ di zaman sekarang ambigu dan tidak bisa dimaknai bantuan setulus hati. ADA MAKSUD!!! Pasti udah pada tahu deh buat yang pernah ngurus SIM tapi nggak pernah merasakan ribetnya ngurus SIM, karena diBANTU.

            Nah, karena kami bertiga juga ragu dengan maksud pak petugas dengan penawaran bantuannya. Akhirnya, kami putuskan untuk tidak menerima bantuannya. Dan ini yang makin membuat kami bingung. Tuh orang beneran tugas resmi kepolisian atau bukan sih? Kok pake nawarin BANTU segala. Tapi nongkrongnya di pos pantau kepolisian. Aah, tau deh!

Kami berjalan menuju tempat cek kesehatan, wiiihh banyak bapak-bapak seliwar-seliwir nggak jelas di pinggir jalan. Dan salah satu dari bapak itu mendekatiku.

(untuk bapak nggak jelas, aku kasih inisial Gj)

            Gj: Mbak…mau ngurus SIM yah?

            Aku: (karena udah tahu maksudnya, aku pasang aja muka jutek) iya!

            Gj: Perlu DIBANTU mbak? Langsung prosesnya, cepat, langsung dapet SIM. Mau?

            Tuh kan! BANTU itu bermaksud. Apa coba kalau bukan minta bayaran lebih. Kalau aku mau uangnya masuk kantong tu bapak Gj dong, enak aja. Cari kerjaan yang halal dikit kek pak, nggak malakin orang gitu…(emang halal ada dikitnya yah? Hahah)

             Aku: nggak usah Pak, kami udah ngurus di dalam.

             Seusai cek, kami menuju tempat kepolisian dan bertanya kepada petugas tahap lanjutan pembuatan SIM. Nih, aku kasih langkah-langkahnya barangkali bisa membantu. Eittss… ini bantuan asli loh, tulus, nggak pake embel-embel. Setelah cek kesehatan, serahkan hasil cek kesehatan di tempat pengambilan formulir untuk ditukar dengan formulir lalu diisi. Setelah itu, petugas akan memberikan arahan untuk menuju ke Knowledge Room. Itu adalah ruang yang disediakan untuk belajar atau ruang ilmu sebelum pemohon mengikuti tes teori. Di seluruh dinding ruangan banyak foto kecelakan yang, iiiihhh seremmm, dan symbol-simbol aturan lalu lintas. Disetiap kursinya sudah disediakan buku latihan menjawab soal. Beberapa menit kemudian bapak polisi masuk ke Knowledge Room lalu memberikan sosialisasi berkendara sesuai aturan lalu lintas.

             Selanjutnya masuk ke ruang tes teori. Agak nerves sih! Alay yak, padahal cuma tes gitu doang. Gitu doang, tapi ternyata hasilku cuma 70, heheh. Yang pentingkan “Anda Dinyatakan Lulus”. Dari 30 soal yang diberi, 18 harus betul. Jawabnya enak, tinggak klik tombol A/B/C/D di keyboard. Setelah 30 soal terjawab otomatis muncul hasilnya. Tiap soal diberi waktu menjawab 3o detik. Lebih dari itu soal otomatis pindah ke nomor selanjutnya.

              Petugas: Langsung menuju ke tempat praktik ya mbak.

              Waahh, langsung praktik. Tapi setelah melihat medan praktik yang seperti itu, nerves muncul lagi kali ini lebih hebat. Praktiknya nggak mudah seperti kita kalo berkendara motor di jalan bebas terserah kita mau jalan cepet atau lambat. Sebelum praktik kami harus memakai baju seperti bajunya tersangka-tersangka yang dipenjara itu berwarna biru dan diberi contoh terlebih dahulu bagaimana cara melaksanakan praktik berkendara motor sesuai medan yang berbeda-beda. Ada jalan zig zag. Yang parah lagi dan yang aku pikir medan paling sulit diantara yang lain adalah jalan membentuk angka 8. Itupun ban tidak boleh cross line dan kaki tidak boleh sampai menyentuh aspal, dilakukan sebanyak dua kali. Di medan ini aku kelihatan tidak lancar karena aku susah menjaga keseimbangan dan hampir jatuh tapi nggak jadi. Akhirnya selesai juga melewati angka 8. Selanjutnya melewati jalan lurus tanpa memutar gas dengan tangan kanan melambai-lambai. Setelah itu melewati jalan lurus sempit dengan kecepatan yang sangattt pelan. Selanjutnya melewati 10 polisi tidur seingatku. Dan terakhir melewati jalanan menanjak. Selesai J. Huh…

               Petugas: Kamu lulus, langsung ke loket 4.

               Aku: Alhamdulillah…

               Akhirnya. Kalau kata tetanggaku ngurus SIM nggak mudah bahkan dia harus bolak-bolik ke kepolisian empat kali karena nggak lulus tes praktik. Tapi sayangnya, temanku F tidak lulus karena mendapat teguran petugas. Saat melewati jalan lurus sempit kecepatan berkendaranya terlalu cepat. Padahal saat melewati angka 8, dia lebih lancar loh daripada aku. Tetap aja nggak lulus. Gitu aja nggak dilulusin. Dan petugas tetap memberi kesempatan tapi 2 minggu lagi. Beuhh!!! Giliran bertindak jujur aja dipersulit. Tuh lihat, nggak sadar banyak calo berkeliaran nggak jelas itu atau pura-pura tidak tahu??? Kalau mau mempersulit, yaa cocoknya mereka aja. Bahkan kalau perlu ditangkap.

               Bu A dan temanku F pulang pastinya dengan kekecewaan. Sudahlah berjalan sesuai prosedur yang panjang. Kita berangkat dari rumah itu jam 7 pagi, selesai praktik sekitar jam 11 loh. Salah sedikit langsung tidak diluluskan. Di loket 4 aku diarahkan untuk melakukan pembayaran di bank yang sudah tersedia di tempat sebesar 100.000. Tapi kalau di calo atau bapak-bapak Gj itu bisa berlipat-lipat. Cepat sih, tapi mau kalau uang yang kita keluarkan banyak-banyak itu masuk ke ‘kas-kas’ illegal.

                Menunggu kurang lebih 20 menitan untuk SIM jadi. Dan akhirnya yee… SIM atas nama Azimatur Rosyida ada di tanganku. Waahh, bangganya diriku serasa menjadi wanita seutuhnya, hahah.Yang bikin heran, kenapa tinggiku 165 cm yah? Tapi kata petugasnya it’s ok. Tinggi badan nggak pengaruh, yang penting nama, alamat, tanggal lahir betul.

                Dan…ini dia. Sebenarnya point ceritanya ada di sini. Saat aku menunggu gilliran foto SIM. Tiba-tiba aku melihat Bu A masuk ke ruang yang sama denganku. Bukannya tadi sudah pulang yah?

                “Sebentar, mau ngurus dulu.” Sapanya tiba-tiba melihat ke arahku

                Hah? Ngurus apaan? Aah, sudahlah. Aku pulang. Sesampainya di rumah, I got massage.

                F: Aku lg antri foto loh!

                Aku: Hah, kok bs?

                F: Iy, td ibuku yg urus.

                Aku: Emng ibumu ngomong gmn ke petugas kok bs lulus?

                F: nggk tau, lama td urusannya.

                Dari seseorang aku tahu bagaimana ceritanya. Saat Bu A dan si F beranjak pulang, entah bagaimana detail ceritanya, intinya Bu A menyampaikan keluh kesah seperti ini kepada salah satu petugas kepolisian.

                Bu A: Iya pak, anak saya nggak lulus tes praktik. Padahal cuma lewat jalan pendek sempit dan harus pelan. Nah, anak saya itu terlalu cepat. Padahal nggak ada keterangan batasan kecepatannya berapa, harus sepelan apa. Bagaimana bisa tahu itu sudah masuk standar lambat atau cepat. Tapi ya nggak diluluskan.

                Petugas: O gitu ya Bu, kalau keputusan memang bukan wewenang kami. Coba Ibu masuk ke dalam lagi dan menemui Pak tiiiitttt. Ibu bisa menyampaikan ke beliau.

                Bu A dan si F kembali ke dalam ruangan lalu menemui Pak tiiittt.

                Pak tiiittt: Ya Bu, silahkan. Ada yang bisa dibantu.

                Bu A: Begini pak, saya sudah berusaha mendisiplinkan anak saya, mendorong anak saya untuk bikin SIM karena SIM itu penting, mengajarinya jujur berjalan sesuai mekanisme. Tapi hanya karena hal seperti ini anak saya tidak diluluskan. Sebenarnya bukan itu permasalahannya. Padahal di luar Pak, ada yang tiba-tiba langsung ikut foto tanpa mengikuti proses sebelumnya.

                Pak tiiittt: Oooh, masa sih Bu?

                Bu A: Tadi saya sempat di tawari 360.000 dapat SIM cepat. Saya menolak Pak.

                Pak tiiittt: Masa sih Bu? Di sini sudah tidak ada calo kok Bu. Mungkin itu yang di luar. Sudah, Ibu kembali 2 minggu lagi aja nggak papa.

                Bu A: Ya sudah. Pak, kalau saya kembali besok, saya akan menyamar dan akan saya foto orang-orang yang berbaju putih tadi lalu saya tunjukkan ke bapak biar bapak tahu kalau ternyata masih banyak calo di dalam dan nanti bapak bisa menindaklanjuti.

                Pak tiiittt: Begini Bu…… Sebenarnya ibu orang mana?

                Bu A: Saya orang Airlangga.

                Pak tiiittt: Suami Ibu?

                Bu A: Juga orang Airlangga.

                Pak tiiittt: Anak Ibu?

                Bu A: Sama Airlangga juga. Bahkan saya juga berencana buat SP (surat pembaca) kok pak kalau ternyata masih banyak percaloan bertebaran di kepolisian.

                Pak tiiittt: Oke…oke...Bu silahkan langsung urus ke bagian (lupa nama tempatnya).

                Saat Bu A akan beranjak ke tempat tersebut tiba-tiba ada seseorang yang mendampinginya. Ternyata orang itulah suruhan Pak tiiittt untuk membantu Bu A agar urusannya bisa selesai. Sesampainya di tempat tersebut, orang suruhan memberikan surat kecil bertulisakan TOLONG DIBANTU kepada petugas di tempat tersebut. Sudah, selesai urusannya dan biaya yang dikenakan tetap 100.000. Dapatlah SIM. Begitulah kondisi orang-orang yang katanya aparat penegak hukum. Entah mereka beneran terlalu polos dan lugu sehingga tidak tahu ada bapak-bapak Gj yang bahkan berkeliaran di dalam. Ataukah mereka berpura-pura menutup mata dan telinga? Tapi, melihat fakta di atas bagaimana kesimpulan pembaca?

                Baru di zaman sekarang aku menemui makna BANTU itu ambigu. Padahal kata ‘BANTU’ sesuai kamus dunia akhirat adalah kata yang suci, tulus, ikhlas, nggak pake ‘ekor’. Aku jadi bersyukur si F nggak jadi lulus tes awalnya. Setidaknya dengan curhatan yang dilakukan oleh Bu A kepada petugas kepolisian langsung, jadi bisa tertangkap basah deh kondisi sebenarnya aparat penegak hukum. Mungkin Allah membukakan jalan kali yahJJJ
               
                  
               

                

2 komentar:

  1. Polisi yang dilengkapi persenjataan ternyata takut ama Airlangga. mendingan saya, sekalipun "gak punya apa2" tapi gak takut sedikitpun ama Airlangga, tapi takut sama Polisi ( he...he...he...)

    BalasHapus