Jumat, 19 Februari 2016

Ngotot Mau Ngebor Sumur Baru, Motif Sebenarnya Apa?


                Beberapa hari yang lalu saya melihat berita PT Lapindo Brantas berencana ngebor sumur gas baru di Tanggulangin, Sidoarjo. Tepatnya radius 2,5 km dari pusat semburan lumpur panas pertama. Aneh, membuat saya bergidik berkali-kali. Jelas akibat pengeboran sumur pertama membuat tanah Porong memuntahkan lumpur panasnya dari tahun 2006 tanpa henti sampai detik ini. Menjadikan Porong sebagai kota mati. Siapa yang menanggung dampaknya? Pemimpin Lapindokah? Merasa bersalah dan dosa besar telah mengakibatkan bencana sebesar itu selama bertahun-tahun sehingga harus bertanggung jawab penuh? Puluhan desa terendam, beberapa perusahan yang mempekerjakan ribuan buruh mati, puluhan ribu warga menjadi korban. Tidak sedikit dari mereka yang nyatanya belum mendapatkan hak ganti rugi.
           Kondisi yang sedemikian parah masih saja Lapindo Brantas berhasrat ngebor sumur kedua. Meskipun pemerintah pada akhirnya Januari 2016 memutuskan untuk memberhentikan ‘sementara’ aktivitas tersebut. Namun, Direktur Jenderal Migas ESDM berencana membuka pengeboran kembali awal Maret tahun ini. Seolah menjadi hal yang mudah dilakukan karena Lapindo telah mengantongi sejumlah perizinan. Terutama dari Bupati Sidoarjo Saiful Ilah. Lah?
              Bukannya saya berprasangka jelek. Saya hanya seorang mahasiswa, bukan seorang pakar apapun. Tapi rasionalitas saya tidak bisa menerima alasan mereka mengksploitasi gas alam ini untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. Tidak mudah mengobati trauma yang menghantui masyarakat selama bertahun-tahun. Rasionalitas saya juga mempertanyakan beginikah wajah demokrasi? Dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat? Ataukah lebih tepat dari korporasi, untuk korporasi, oleh korporasi? Seberapa besar keuntungan individu yang diperoleh dengan nekat membuka sumur kedua dan memberi izin pengeboran tanpa mempertimbangkan kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat. Siapakah pengendali atas negeri ini? Bukankah para pemimpin adalah wakil rakyat yang dipillih rakyat untuk mengaspirasikan suara mereka. Atau malah dalam demokrasi ada bos di atas bos. Semuanya terselubung.
               
Azimatur Rosyida
Mahasiswi, Surabaya
14 Februari 2016/10:34
Mencoba dikirim ke suara pembaca Republika belum berhasil. Please try again.

Suara Siapa yang Pantas Didengar dan Tidak


                Pada tanggal 30 November 2015 telah diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Paris berkaitan dengan perubahan iklim dan pengembangan energi. Acara ini menghadirkan presiden Indonesia sebagai salah satu pembicara dan 134 kepala negara lainnya termasuk Presiden Obama sebagai pemimpin negara adidaya saat ini.
                Ada satu hal yang menarik perhatian saya dari headline ini. Prancis sebagai tuan rumah sudah pasti memperoleh kesempatan pertama menyampaikan pidatonya. Disusul Bill Gates, seorang pengusaha AS juga turut terlibat. Kesempatan berpidato selanjutnya diberikan kepada Presiden Obama. Seluruh peserta KTT terlihat sangat antusias pada awalnya. Nah, giliran Presiden Jokowi mendapatkan kesempatan berpidato, Obama pamit undur diri dari acara. Bukan hanya Obama, beberapa kepala negara lainnya juga ikut menyusul undur diri. Sangat terlihat mencolok pengurangan jumlah peserta dari awal acara. Padahal keterlibatan Indonesia bukan tanpa alasan. Sebagai negera dengan julukan paru-paru dunia karena potensi hutannya dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan iklim dunia. Selain itu, juga sebagai negara terkaya akan SDA dapat memberikan potensi besar dalam pengembangan energi terkini.
                Lalu, apa makna KTT ini? Bukankah pertemuan ini yang seharusnya menjadi kepentingan utama para pemimpin dunia berkumpul untuk membahas permasalah dunia. Undur dirinya Obama telah memberikan pesan tersirat, sebenarnya suara siapa yang pantas didengar dan mana yang tidak. Lupakah bahwa karena ‘kemurahan hati’ Indonesia, korporasi AS telah menduduki hampir 100% kekayaan alam Indonesia?
                Bahwa sebenarnya realita dunia saat ini telah mengungkapkan, tidak ada sahabat abadi, tidak ada kerjasama abadi, tidak ada bantuan seikhlas hati, tidak ada belas hati, yang ada hanyalah kepentingan pribadi yang abadi. Entah apa jadinya Indonesia yang masih mau melanjutkan kerjasamanya dengan korporasi asing yang jelas-jelas telah menyedot SDA milik rakyat. Bahkan seberapa banyak pergantian pemimpinpun, selama negara kita dikendalikan oleh asing, kepentingan asinglah yang menguasai. Namun, saya yakin kelak akan ada masa di mana kemulyaan manusia akan teraih. Bukan seperti kondisi saat ini di mana para pemimpin negeri justru tunduk dibawah arahan korporasi asing dan rakyatlah yang menjadi korban kesengsaraan atas kerakusan mereka. Butuh untuk menyadarkan hal ini kepada masyarakat dan masyarakat sendirilah yang akan menuntut adanya perumusan sistem terbaru dan terbaik untuk mengatasi permasalahan negeri.

Azimatur Rosyida
Mahasiswi, Surabaya
05 Desember 2015/20:46
Mencoba dikirim ke suara pembaca Republika belum berhasil. Please try again.

Bangga Sekaligus Miris



Pagi ini saya melihat berita-berita di televisi. Perhatian saya menuju pada headline news berjalan, dua anak Indonesia menang lomba mengingat tingkat dunia di Hongkong, anak Indonesia meraih satu medali emas dan dua perunggu di Olimpiade Geografi Internasional di Rusia. Ditambah lagi teman adik saya pada Agustus lalu juga meraih medali perunggu Olimpiade Matematika Internasional tingkat SMP di Singgapura, seorang anak pondokan biasa di Nganjuk. Sontak saya langsung mengucapkan Subhanallah bangsa ini begitu cerdas.
Namun, begitu pahit rasanya di waktu yang sama melihat kondisi Indonesia yang masih saja terpuruk. Kemiskinan meningkat, bahan-bahan mentah masih mengandalkan impor, kebutuhan pokok serba mahal, dll. Membuat saya berpikir bagaimana bisa sangat kontras terlihat SDM cerdas Indonesia banyak dihasilkan pun SDA melimpah ruah tapi Indonesia yang baru saja merayakan kemerdakaan yang ke-70 masih tetap menangis dalam kesengsaraan hidup. Jelas, Indonesia kita masih dalam keterjajahan.
Bagaimana perhargaan yang diberikan para pemimpin kita terhadap mereka yang sudah menyumbangkan keintelektualitasan mereka? Bagi mereka yang memenangkan olimpiade mungkin berimbal jutaan. Sudah itu aja. Selanjutnya apakah mereka akan diberi fasilitas laboratorium tersendiri misal atau alat canggih yang dapat mengembangkan keilmuan mereka demi kemaslahatan masyarakat? Sehingga bisa terlihat bahwa Indonesia adalah negara yang tulus bersungguh-sungguh dan berupaya keras memajukan bangsanya. Atau malah energi pemimpin kita habis untuk sekedar cek-cok dan berpikir untuk urusan mereka sendiri. Mau beralasan anggaran negara tidak cukup untuk memfasilitasi semua itu?
Wajar jika berujung pada kesimpulan lebih enak hidup dan sekolah di luar negeri lebih dihargai daripada di negeri sendiri. Bukankah kita termasuk negeri dengan kekayaan alam melimpah. Sayang sekali seolah kita sengaja dibuta akan itu. Gunung emas Papua telah dikuasai Freeport, Riau penghasil minyak terbesar Indonesia dikuasai Chevron, dll. Negara kita membiarkan sebagian besar SDA dikuasai Asing. Indonesia butuh perubahan sistemik!
Mohon maaf bila kurang berkenan. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya lihat dan apa yang saya rasakan. Terimakasih.
Azimatur Rosyida
Mahasiswi, Surabaya
24 Agustus 2015/10:53
Di posting oleh suara pembaca Republika




Sabtu, 23 Agustus 2014

Disorientasi Pendidikan Sekedar Cari Nilai, Kerja, dan Dijadikan Barang Komersial



                Sebuah album yang berisi catatan perjalan hidup siswi SMA yang bersekolah di Amerika. “Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada...... Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….” (www.americaviaerica.blogspot.com). Ini merupakan ungkapan seorang siswi yang merasa sekolah adalah pekerjaan. Otaknya hanya disetir untuk mencari nilai tinggi. Dan baginya, pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya.

Pernyataan seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Prof. Mohammad Nuh “Kalau tidak lulus UN, mereka tidak dapat ijazah, dan akhirnya tidak bisa kerja juga.” Seolah dengan bekerja kesuksesan tertinggi telah teraih. Sesempit itukah cara berfikir seseorang? Bagaimana tidak cara berfikir seperti itu muncul ketika pendidikan sudah mulai terkomersilkan. Masuk sekolah atau perguruan tinggi dengan biaya mahal. Lantas untuk mendapatkan biaya itu kembali output peserta didik harus bisa mendapatkan nilai tinggi, ijazah, gelar sehingga bisa diterima diperusahaan, kaya raya. Ketika kelak berkeluarga dapat menyekolahkan anaknya kembali. Siklus hidup bagaikan siklus terbentuknya hujan. Itu saja! Meskipun pada faktanya semakin tinggi pendidikan seseorang tidak ada jaminan mendapatkan pekerjaan sesuai tingkat pendidikannya.
Tidak Sejalan Dengan Perbaikan Moral
        
           Pesan kecil yang dikutip dari Human Development Index (HDI) Indonesia, “Seharusnya pendidikan memberikan efek yang saling melengkapi antara kemampuan akademis, moral, dan sosial.” Padahal dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 adalah “Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Mutu pendidikan Indonesia bisa terlihat dari HDI 2013 yang meraih peringkat ke-121 dari 186 negara dan 8 negara-teritori sehingga Indonesia menempati kelas  Medium Human Development. 

Undang-Undang yang diberlakukan di Indonesia jarang sekali selaras dengan aspek implementatif. Bagaimana output peserta didik kriteria pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 bisa terpenuhi jika masih diberlakukan konsep link and match (keberkaitan dan keberpadanan) antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Seolah memberikan pesan tersirat bahwa produk dari sistem pendidikan adalah generasi tukang. Generasi muda diberlakukan layaknya mesin yang dipekerjakan saat diperintah dengan iming-iming setumpuk uang. Tentu, meskipun diberlakukannya konsep ini tidak dapat menjamin setiap lulusan terdidik mendapat kerja. Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengungkapkan, 610 ribu dari total 7,17 juta pengangguran terbuka di Indonesia, adalah "pengangguran intelektual" atau dari kalangan lulusan universitas. (www.tribunnews.com). 

Bahkan kurikulum baru, kurikulum 2013, lebih banyak disoroti sebagai bermuatan politis persaingan mereka-mereka menuju pemilu 2014 daripada upaya besar bangsa ini menyiapkan generasi baru yang siap bertarung di arena global. (www.edukasi.kompasiana.com/2013/03/05).

Hal ini telah mengindikasikan bahwa pendidikan saat ini sudah menjadi barang komersil lantaran bisa mendatangkan keuntungan. Ketika materi telah menjadi tolak ukur menjadi kewajaran –yang tidak layak– orientasi pendidikan terus tergerus. Pendidikan tidak lagi dijadikan sebagai tempat yang nyaman untuk mencerdaskan peserta didik menjadi generasi berjiwa pemimpin, menjadi pelopor di segala bidang kehidupan, dan matang dalam merancang masa depan. Banyak lulusan SMA atau sarjana, tapi hanya sedikit yang benar-benar mumpuni dalam bidangnya. Bagi mereka yang pintar pun, kepintarannya telah dieksploitasi demi kepentingan kapitalis global. Itu yang terjadi pada kebanyakan masyarakat akibat sistem pendidikan yang terkapitalisasi saat ini. 

Saat itulah fokus moral sudah tak dianggap penting lagi. Sudah banyak praktik jual beli gelar dengan menawarkan jasa pembuatan ijazah palsu. Diperparah lagi dengan pemberitaan pedofilia Maret lalu di JIS yang menimpa beberapa murid TK. Bahkan berbagai pemberitaan di televisi setiap harinya tidak terlepas dari kasus pedofilia yang merebak di beberapa daerah. Belum lagi kasus tawuran pelajar di DKI Jakarta sebanyak 112 kasus pada 2013 juga mengalami peningkatan. Aksi pembunuhan yang dilakukan anak SD kepada temannya sendiri yang jika ditinjau lebih dalam merupakan akibat kejahatan sistemik. Peran pendidikan seolah tidak berbekas sama sekali. Kerasnya ospek perkuliahan sampai menewaskan seorang mahasiswa di Malang. Belum lagi kasus yang terjadi di luar negeri, Tel Aviv, sebuah kota metropolitan di Israel. Sebanyak 7 siswa SMP tertular penyakit HIV setelah tidur dengan PSK yang memberikan pelayanan tidur gratis.

Prestasi akademik pun tidak dapat menjamin seseorang bisa memiliki kepribadian kuat. Ignatius Ryan Tumiwa, pria penderita depresi yang sempat menyatakan keinginannya untuk disuntik mati, menurut informasi yang diperoleh ternyata pernah menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Indonesia. Cukup mengejutkan ternyata Ryan lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,37. (www. kesehatan.kompasiana.com).

Tidak akan ada habisnya ketika permasalahan yang diakibatkan sistem pendidikan sekarang dikupas satu per satu. Siapa yang akan bertanggung jawab atas kebejatan ini? Individu, keluarga, lingkungan, atau...negaralah yang seharusnya bertanggung jawab penuh?

Memang Sudah Seharusnya Tanggung Jawab Negara

                Terlebih dahulu harus dipahami sejatinya tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian khas dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan seharusnya dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Adapun setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang. Tujuan seperti hanya ada pada sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, pendidikan merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh Negara. Sehingga Negara akan berupaya maksimal agar seluruh rakyat mendapatkan hak mereka dengan pendidikan yang berkualitas secara cuma-cuma. Dan kurikulum pendidikan hanya berbasis pada akidah Islam. Peserta didik akan dipahamkan bahwa Islam adalah agama sempurna yang mencakup seluruh aturan hidup manusia dan satu-satunya yang layak untuk dijadikan jalan hidup.
                Secara terperinci ada dua tujuan pokok pendidikan. Pertama, membangun kepribadian Islami, pola pikir (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah) bagi umat, yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku Islami ke dalam akal dan jiwa anak didik. Karenya dibutuhkan sebuah Negara (Daulah Khilafah) untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum pendidikan agar tujuan ini terealisasi. Kedua, mempersiapkan anak-anak kaum Muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu ke-Islaman (ijtihad, fiqih, peradilan, dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain).
                Demi tercapainya keutuhan tujuan pokok pendidikan tersebut Negara akan senantiasa mencegah siapa saja yang menyerukan pemikiran atau konsep selain yang didasarkan pada akidah Islam. Bisa dibayangkan model pendidikan seperti ini betul-betul menghasilkan sosok ilmuan sejati yang juga matang iman. Secara alamiah, akhlakul karimah pun akan senantiasa menghiasi setiap detik aktivitas mereka. Akan sangat jauh dari istilah pasar atau industri yang hanya sekedar menguntungkan segelintir pihak dengan menumbalkan sebagian besar masyarakat.
                Lihatlah bagaimana ilmuan-ilmuan Islam terdahulu mahir dalam segala bidang. Imam Syafii dengan karya tulisannya sebanyak 113 kitab tentang tafsir, fikih, adab, dan lain-lain. Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi, ilmuan pertama yang membuat penjelasan seputar penyakit cacar karena kemahirannya dalam bidang kedokteran, kimia, dan lain-lain. Ibnu Haitham, seorang ilmuan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Al Khindi  ahli adalah ilmuwan ensiklopedi, pengarang 270 buku, ahli matematika, fisika, musik, kedokteran, farmasi, geografi, ahli filsafat Arab dan Yunani kuno. Al Khindi, ilmuan ensiklopedi, pengarang 270 buku, ahli matematika, fisika, musik, kedokteran, farmasi, geografi, ahli filsafat Arab dan Yunani kuno. Muhammad al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel –sebuah kota yang bergelar The City with Perfect Defense– karena kecerdasan yang luar biasa dan kekuatan imannya kepada Allah. Sampai-sampai beliau tidak pernah masbuk dalam sholat berjamaah. Subhanallah, Allahu Akbar!
                Mereka adalah hasil cetakan dari sebuah sistem mulia, sebuah sistem yang benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pelayan umat. Dan sistem seperti itu hanya ada pada sistem Islam yang berlandaskan keimanan pada Allah semata.
                Semua itu tidak akan berarti tanpa adanya sebuah institusi (sistem Islam) yang akan menjamin keberlangsungannya. Sistem Islamlah yang akan membuktikan sepanjang penerapannya adalah rahmat bagi seluruh penduduk bumi. Oleh karenanya, butuh kesadaran dari kaum Muslim akan penting dan wajibnya menjadikan Islam sebagai jalan hidup sebuah negara. Sehingga terwujudnya sebuah institusi yang berlandaskan hukum Allah bukanlah hal mustahil. Sudah menjadi janji Allah akan ada masa di mana hukum Allah dijadikan sebagai hukum tertinggi.[justice aidoru]


Rabu, 26 Februari 2014

Amanah Dakwah Banyak, Nilai Makin Anjlok Dong? Oh Yah???


Terlintas pertanyaan adik kelas, kalau pengemban dakwah tetapi nilainya jelek sama aja dong?


Betul kah? Atau justru pertanyaan tersebut tidak bisa dikomparasikan?

Beberapa hari yang lalu aku hendak melaksanakan amanah dakwah tercampur juga dengan sedikit rasa puas menerima IPK yaaa setidaknya sudah melebihi 3 koma lah. Di perjalanan melewati jalan yang lurus membuatku ingat pertanyaan di atas. Aku jadi menyesal telah memberikan jawaban yang nggak sesuai –waktu itu– dengan jawaban yang baru aku temukan sekarang. Dulu aku menjawab yang intinya, kalau pengemban dakwah yang ikhlas berjuang di jalan Allah setidaknya nilai minimal pasti sedang atau pas rata-ratalah. Kita belajar untuk mendapatkan hasil terbaik dan bagus itu juga bisa mempromosikan dakwah. Bahwa sebenarnya pengemban dakwah di samping kesibukannya juga bisa mendapatkan nilai bagus. Dan Allah juga sudah berjanji barang siapa yang menolong agama Allah pasti Allah akan menolongnya. Itu jawaban yang aku utarakan dulu. Dan jawabanku itu seolah-olah memberikan kesimpulan, "ya udah, kalo gitu dakwah aja deh. Kan setidaknya aku bakal dapat nilainya pas rata-rata." Mungkin akan menguntungkan juga kali yah buat orang-orang yang nilainya sering di bawah rata-rata. Hahah.

Tapi setelah aku pikir-pikir kembali, sepertinya nggak semua jawabanku tepat. Jadi aku cabut kembali sebagian pernyataanku dulu. 

Justru antara pengemban dakwah dan nilai pelajaran tidak bisa dibandingkan. Lantas, apakah saat kita fokus di jalan dakwah sehingga fokus di pelajaran berkurang, lalu begitu saja nilai kita jelek. Atau saat kita fokus ke pelajaran sampai-sampai ketika mendapatkan amanah dakwah ditolak karena sibuk belajar. Jaminkah bisa dapat nilai bagus? So, aku pikir tidak ada kaitannya antara amanah dakwah dan nilai. Bahwa semua itu tidak bisa diukur secara kuantitas yang berbanding terbalik. Semakin banyak amanah dakwah, semakin jelek nilai pelajaran. Semakin sedikit amanah dakwah, semakin bagus nilai pelajarannya. Tidaklah semudah itu.

Mungkin lebih tepat jika pertanyaannya seperti ini, meskipun kita pengemban dakwah bagaimana kita bisa mempertahankan nilai agar tetap bagus? Nah, yang ini lebih enak. Dan jawabannya pun nggak bakal jungkat-jungkit.

Pahami dulu bahwa sebenarnya seorang muslim itu wajib menuntut ilmu. Allah cinta dengan orang yang bersungguh-sungguh belajar dan mendalami ilmu di bidang farmasi misalnya atau di bidang lainnya demi kemaslahatan penduduk bumi. Apalagi dakwah. Waahh, jangan ditanya lagi ini sudah jelas wajib ain bagi setiap muslim. Makanya, hanya di tangan orang yang beriman kepada Allahlah semua itu akan berjalan seimbang, bukan di tangan orang-orang yang mengambang. Karena orang beriman, melandaskan semua aktifitasnya dengan keikhlasan.

Selanjutnya, kuncinya ada pada kecerdasan kita mengatur waktu. Jadikan waktu ada di bawah kendali penuh oleh kita sendiri. Kitalah yang akan menjadi manajer waktu bagi diri sendiri. Sudahlah beriman kepada Allah, kecerdasan waktu juga ada pada kita. Sudahlah lezat!!! Dan agar kelezatan itu semakin mantap, perlu dilakukan deteksi dini mulai dari bahan-bahan yang bisa menghilangkan kelezatan.
  1. Kalau mulut mulai hoam-hoam, tangan mulai garuk-garuk kepala, mata mulai kedap-kedip, dan molet menjadi hal paling nikmat. Awas, tanda-tanda tubuh sudah teracuni dengan bahan-bahan kemalasan. Islam tidak pernah mengajari umatnya untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG (Malas Selalu Gagal). Tapi kalau udah terlanjur makan, langsung saja segarkan tenggorokan dengan hadist ini.
    "Allah SWT mencela sikap lemah, tidak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cekatan, namun jika kamu tetap terkalahkan oleh suatu perkara, maka kamu berucap 'cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Allah sebaik-baik pelindung." (HR Abu Dawud) 
    Suatu hari Rasulullah SAW pernah berdoa, "Ya Allah, hamba meminta perlindungan kepadaMu dari kecemasan dan kesedihan." Sebab, cemas dan sedih, keduanya juga bersumber dari malas dan lemah. So, berhati-hatilah melihat ingredients makanan.


  2. Hindari makanan yang bermerek  Masih Lama Ah, Belum Waktunya Kok, Nanti Aja. Dijamin itu merek bisa menghipnotis orang lupa akan waktu. Islam nggak pernah jual makan yang bermerek seperti itu. Istilah kerennya berasal dari bahasa Arab, Taswiif (menunda waktu).
 
Dari ibn Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: “Raihlah lima kesempatan sebelum datangnya lima kesempitan. Masa mudamu sebelum datangnya masa tuamu, masa sehatmu sebelum datangnya masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, waktu luangmu sebelum datangnya waktu sempitmu dan masa hidupmu sebelum datangnya masa matimu. (Diriwayatkan oleh Imam al-Haakiim dalam al-Mustadrak)

Sejauh aku berpikir masih dua poin ini yang menjadi dasar kegagalan. Barangkali ada yang kurang silahkan ditambah sendiri, hihih. 

Nah, kalau sudah pintar-pintarnya kita melakukan deteksi dini bahan-bahan ber’penyakit’ tersebut sekaligus kita sudah mampu menjauhkannya dari tubuh. Selanjutnya, akan mudah bagi kita untuk melakukan orentasi perbuatan sehingga aktifitas hidup akan lancar.

Ini juga menjadi intropeksi bagi diri saya pribadi. Lebih baik menampar diri sendiri terlebih dahulu sebelum orang lain. Kalau bilangin diri sendiri dan orang lain memang mudah, tinggal aja bilang lewat tulisan atau ngomong. Tapi nggak semua orang bisa –kata Ustadz Felix– DO IT. [Justice Aidoru]