a Wish
Bosan, sepi,
hanya diam yang bisa ia perbuat. Itulah keseharian yang selalu ia lewati
bersama suasana yang sebenarnya tak sama sekali ia inginkan. Jarum pendek tepat
menunjukkan pukul 12 tengah malam. Menunggu kedua orang tuanya datang, namun belum
datang juga. Ia termenung di atas tempat tidur, mata menatap langit atap yang
polos dengan ukiran yang menarik
menunjukkan arsitektur rumah yang unik, seolah
berpikir. Meskipun jika diterjemahkan dengan kata-kata ia tak mungkin bisa
mengunggkapkannya karena dia sendiri tak bisa mengambil kesimpulan dari apa
yang sedang ia pikirkan. Hanya cahaya rembulan yang bisa menemaninya di
kegelapan malam. Terpancar
dari kaca cendela yang masih terbuka. Suara hewan malam memecahkan pikirannya.
Memindahkan posisi, termenung di bawah
padang rembulan malam yang terpisahkan
oleh kaca. Dengan menatap cahaya rembulan “sampai kapan
ini akan berakhir?” suaranya penuh dengan rintihan.
Ia tak
mengingat besok hari terakhir sekolah setelah melaksanakan ujian akhir sekolah
atau lebih tepatnya disebut UASBN untuk anak yang masih duduk di bangku sekolah
dasar, meskipun hari yang didapatkan akan membuatnya sedih. Ia mencoba menutup mata
memasuki alam mimpi. Namun usahanya tak berhasil. Jalan lain pun ia tempuh. Bangun dari tempat
tidur menuju ke kamar mandi mengambil air wudlu untuk sholat malam. Kebiasaan
ini sering ia lakukan semenjak ia kelas 4 SD. Guru agama yang telah
mengajarinya. Ia panggil Bunda May, meskipun panggilan itu tak akrab untuk
dilontarkan bagi teman-teman sebayanya kepada ibu May. Ia merasa hanya bunda
Maylah satu-satunya orang yang dekat dengannya.
Alarm berbunyi
menunjukkan pukul 4 subuh telah tiba. Bagai mengangkat batu raksasa oleh tangan untuk menjauhkan selimut dari tubuh karena semalaman ia sulit tidur.
Menunda bangunnya sampai
pukul setengah 5 pagi. Alarm berbunyi untuk yang kedua kalinya setelah ia setting setiap setengah jam sekali
alarm akan berbunyi. Matanya langsung terbelalak namun ia tak sadar mengapa hal
itu terjadi. Oh tidak, ia belum sholat
subuh. Warna kemerahan di langit sudah menampakkan kecerahannya, beranjak
menuju kamar mandi.
Sebelum ia
berangkat sekolah, “bunda… aku lapar aku mau makan.” Teriaknya. Rumahnya yang luas dan
mewah membuatnya sulit memanggil orang tuanya atau orang di dalam rumah dengan
nada yang pelan dan lembut.
“Iya, sebentar non, ini bibi lagi masakin
makanan kesukaan non.”
balas bikMarsih yang mewakilkan pesan bunda karena bibi tahu orang tuanya sudah
berangkat kerja.
“Kok, bik
Marsih lagi yang masakin buat
Nayla. Bunda sama ayah mana?” Pertanyaan yang sebenarnya bisa ia jawab namun ia
sangat tak berharap jawaban itu benar. Meskipun kenyataannya memang benar.
“Bunda sama
ayah sudah berangkat sejak jam 5 pagi tadi.”
“Kenapa mereka nggak
pamitan dulu ke Nayla?” Tanya Nayla kesal.
“Sebenernya
mereka mau pamitan ke non Nayla, tapi keburu telat kerja dan takut ganggu non
Nayla yang masih tidur, karena harus ada beberapa tugas yang harus mereka selesaikan. Ini ada
surat dari bunda untuk permintaan maaf. Belum bibik buka. Katanya bibik suruh ngasih
ini ke non Nayla.”
Isi surat,
Nayla sayang...
Bunda dan ayah minta maaf karena
pagi ini tidak bisa menemani Nayla sarapan. Kami harus berangat pagi-pagi
karena ada beberapa masalah di pekerjaan kami yang harus kami selesaikan. Jadi bunda dan ayah sekali lagi
minta maaf karena tidak berpamitan terlebih dahulu ke Nayla. Tapi jangan khawatir, bunda dan
ayah sudah menyiapkan uang di lemari kamar Nayla. Semoga cukup untuk jajan Nayla di
sekolah. Hati-hati di jalan dan baik-baik di sekolah. Insyaallah bunda dan ayah
akan pulang 3 hari lagi.
x x x
Your Lovely Parents
Dad’s and Mom’s Nayla
“Pekerjaan lagi… Pekerjaan
lagi. Kenapa
sih pekerjaan mereka yang dinomor satukan. Naylakan juga butuh
perhatian. Ngucapin
sayang ke nayla aja pake lewat surat, kalo nggak gitu lewat telpon.” Sentak Nayla dengan sebal.
“Sabar non,
maklum orang tua non Naylakan pengusaha. Jadi mungkin mereka tidak punya pilihan
lain selain menyisakan banyak waktu untuk pekerjaan mereka.”
“Yah bibi, kok
jadinya malah belain orang tua Nayla. Nayla juga butuh kasih sayang dan perhatian. Apalagi kita sudah jarang
sekali ngobrol bareng bahkan nggak pernah. Mungkin yang diucapin cuma sebatas “good morning honey, hati-hati di sekolah yah, ayah bunda berangkat dulu ya” huh…”
Nayla sangat
kesal dengan sikap orang tuanya yang baginya tak acuh kepadanya. Ia merupakan anak tunggal
yang dilahirkan dari keluarga yang sangat berkecukupan bahkan berlimpah harta.
Namun harta yang selama ini Nayla nikmati untuk kebutuhan hidup tak membuatnya
merasa bahagia tinggal di rumahnya sendiri. Ada satu hal yang kurang darinya dan itu tak pernah didapatkannya saat mulai menginjak
bangku sekolah dasar.
*****
Di
suatu pagi yang berbeda di sekolah, Nayla melihat sosok wajah yang asing di
kelasnya. Bermata sipit bagai mata kucing, kulitnya putih bersinar. Duduk di
bangku pojok kelas, tempat Nayla terbiasa menyindiri merasakan kegalauan.Tanpa
berfikir lagi, ia langsung menghampirinya, “Hei, are you a new student...?” Tak ada balasan, “Hallo? Can you hear me?” Aneh sekali. Wajahnya
memberikan kesan pertama bagi orang yang melihatnya, cuek. Atau mungkin karena saking fokusnya dengan buku bacaannya
sampai-sampai tidak memperhatikan sekitar. Tanpa bertanya, Nayla langsung duduk
di sampingnya. Berpikir kata apa yang cocok sebagai kata pembuka perkenalan. Ia
teringat kata yang ia lontarkan tadi adalah kata bahasa Inggris. Jangan-jangan anak baru itu tidak mengerti apa
yang aku ucapkan atau aku salah dalam mengucapkan kata pembuka perkenalan.
Ia membodohkan dirinya sindiri. Memukulkan pena di kepalanya. Inikan Indonesia
bukan Inggris. Dari kecil Nayla sudah mendapatkan pendidikan bahasa Inggris
melalui kursus. Kedua orang tuanya sangat fasih berbicara bahasa Inggris.
Pastinya kemampuan itu akan diturunkan ke anaknya. Bahkan orang tuanya pun
sering mempraktikkannya saat berbicara langsung ke Nayla.
“Kring...kring...kring...”
bunyi bel tiga kali menunjukkan jam istirahat. Nayla berusaha mengajaknya
berbicara. Namun ia masih juga binggung dengan kata-kata pembuka. Berfikir
sejenak dan “Hai, kenalin namaku Nayla” katanya sambil mengulurkan tangan. Ia
balas ajakan salaman anak perempuan itu.
“Zain...”
balasnya tanpa senyuman. Matanya tetap fokus dengan buku yang di bacanya. Bisa
diambil kesimpulan sementara kalau ia suka membaca. Tak mau menanggapi
kecuekannya, Nayla pun beranjak dari tempat duduknya untuk membeli makanan di
kantin. Saat berdiri, tiba-tiba kepalanya terasa pening. Matanya tidak bisa
fokus, bumi seakan berputar tak menentu. Banyak cahaya kecil-kecil di matanya.
Diam sejenak, “are you ok?” celetuk
Zain reflek.
“I’m ok...” jawabnya berusaha mengkontrol
kondisi. Ia tetap menuju ke kantin.
“Eh,
tunggu... mau ke mana?”
Sempat
membuat Nayla sedikit terkejut, “ke kantin!” jawabnya singkat.
“Kebetulan perutku juga lapar, kita pergi
bersama?” tawarnya. Itu juga karena ia merasa sebagai anak baru yang masih
belum tahu banyak tentang sekolah barunya. Butuh seseorang sebagai guide.
Saat menuju kantin, Nayla hanya diam dan tidak
berkata apa-apa kepada Zain, tak sibuk berpikir kata-kata apa yang harus
dikatakan untuk mengisi kesunyian diantara mereka berdua. Bukan karena ia tahu
respon apa yang bakal dilontarkan, namun karena kepalanya yang terasa sakit berusaha
ditahan. Kesunyian terpecahkan oleh tawaran traktiran dari Zain, “mau ku
traktir?”
Hanya gelengan dan senyuman kecil nampak di
wajahnya. Tidak, terimakasih. Lama
kelamaan, Zain merasa ada yang aneh pada Nayla. Wajahnya berbeda agak memucat
dari pertama kali mereka bertemu.
“Nay, kamu nggak papa?” sambil melihat wajah
Nayla yang merunduk seperti menahan sakit.
Ia hanya mengangguk, menandakan ia baik-baik
saja. Ucapan yang seakan-akan memotifasinya untuk tidak sakit ternyata
sia-sia.Tak tahan menahan sakit, ia langsung duduk saat Zain akan memesan
makanan.
“Nggak mungkin, pasti kamu sakit, butuh ke
UKS?” Zain menawarkan bentuk kepeduliannya.
Tak kuat menyembunyikan sakitnya, tak tahu lagi
apa yang harus ia perbuat kecuali menerima tawaran Zain untuk menemaninya pergi
ke UKS. Jarak UKS dari kantin hanya 10 meter. Cukup kuat bagi Nayla untuk
melangkahkan kakinya. Tak hanya pusing saja yang ia rasakan. Mual-mual dan
badan terasa nyeri menyertai. Penglihatannya sudah mulai kabur, tapi tak sampai
membuatnya pingsan.
Sampainya di UKS, Zain menyerahkannya pada ibu
pengurus UKS untuk memberikan obat dan mempersilahkan istirahat, berbaring di
atas kasur. Setelah itu Zain meninggalkannya setelah mendengar bel masuk kelas
sambil mengatakan, “Nay, kutinggal dulu yah, cepat sembuh.” Ia tak berkutik
sedikitpun. Hanya diam dan menikmati rasa sakitnya.
Bel sekolah berdering lima kali menunjukkan
hari terakhir sekolah dan hari libur pun di mulai. Teman-temannya sangat senang
menyambut hari libur karena pasti sebagian dari mereka akan menghabiskan waktu
libur mereka bersama keluarga mereka. Hal
ini membuat sesuatu yang berbeda pada Nayla.
Baginya menyambut hari libur bagaikan menyambut hari kepedihan yang akan ia
jalani selama masa liburan berakhir. Karena ia tahu, pasti akan menghabiskan
waktu di rumah sindirian tanpa canda tawa dari seorang bunda maupun ayah bahkan
sedikit perhatian pun tak akan ia dapatkan. Namun setidaknya masih terbesit
sedikit rasa syukur pada dirinya karena ada orang yang masih sayang dan
memberikan perhatian kepadannya. Terutama untuk gurunya bu May yang sering ia
panggil bunda May karena sosoknya yang sangat keibuan meskipun bu May belum
berkeluarga dan bik Marsih yang setia bekerja bertahun-tahun di rumah Nayla dan
orang yang selalu merawatnya serta teman yang
baru ia kenal beberapa jam yang lalu, Zain. Ia memang terkenal pendiam di
kelas. Cenderung menyendiri jika ia sedang galau. Ia pun tak begitu baik dalam
hal bersosialisasi kepada teman, kecuali seseorang yang benar-benar ia mau untuk
dijadikan teman yang bisa saling mengerti.
Bu May sangat
mengetahui betul bagaimana keadaan Nayla. Dari situ akhirnya ia banyak
memberikan perhatian dan sanggup menampung seluruh keluh kesah yang dialami
Nayla. Meskipun ia bakal tahu cerita apa selanjutnya yang akan diceritakan
kepadanya. Tidak lain adalah keluarga Nayla sendiri. Ia selalu memberikan
nasihat untuk tidak lupa melaksanakan sholat lail sebagai tempat yang paling
baik untuk mengungkapkan seluruh keluh kesah selama menjalani hidup. Dan doa
yang dipanjatkan saat sholat lail adalah doa yang mustajabah apalagi bagi anak
yang belum melewati masa baligh. Setidaknya itulah satu hal yang patut untuk
Nayla syukuri.
“Allah Azza W Jalla akan turun ke langit dunia setiap malam
ketika sepertiga malam yang terakhir, seraya berfirman, ’Siapa yang berdoa
kepada-Ku, maka Aku akan menerima permintaannya dan siapa yang meminta keampunan
dari-Ku maka Aku akan mengampuninya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Wajar jika rasa iri muncul kepada
teman-temannya yang setiap hari mendapatkan perhatian dari orang tua mereka. Berangkat
dan pulang sekolah
selalu diantar jemput oleh kedua orang tua mereka. Meskipun sebagian dari mereka tidak bisa merasakan kasih
sayang orang tua karena kemanjaan mereka. Pernah ia mencoba sepulang sekolah
duduk di tempat penungguan khusus anak-anak yang diantar jemput oleh orang tua
mereka dengan persyaratan mereka yang menjemput harus mempunyai kartu identitas
diri yang diberikan oleh pihak sekolah untuk menghindari penculikan yang
akhir-akhir ini sering terjadi pada siswa sekolah dasar. Meskipun ia tahu hal ini tak akan pernah terjadi, namun setidaknya
dengan andaian ini sedikit kebahagian muncul dalam dirinya. Ia berharap suatu
saat ada orang yang turun dari mobil berjalan menghampirinya untuk mengajaknya
pulang, ditambah dengan kecupan manis yang diberikan tidak lain adalah orang
tuanya sendiri. Tapi wajah itu tak berubah, tetap seperti yang biasanya ia
temui setelah pulang sekolah. Tak lain adalah supirnya sendiri pak Halim yang
menghampirinya untuk mengajaknya pulang. Sudah menjadi tanggung jawab dan tugas pak Halim untuk menjaga dan
membawanya selamat sampai rumah. Itulah satu-satunya impian yang belum ia
dapatkan dan bahkan munkin tak pernah ia dapatkan lagi karena kesibukan orang
tua yang tiada henti. Berangkat pagi-pagi buta sebelum ia bangun dari lelapnya
tidur dan pulang pun ketika ia sudah tidur.
Ada satu memori kecil yang
semakin hari sudah mulai memudar, namun ia berusaha mengingatnya karena itu sangat
berarti bagi dirinya. Pernah, sekali ia dijemput oleh kedua orang tuanya sepulang sekolah. Itupun
karena mereka kebetulan pulang kerja lebih awal dan jalan menuju kantor sejalan
dengan sekolahnya. Ia sangat gembira meskipun orang tunya tidak berniat untuk
menjemputnya, hanya semata kebetulan. Ucapan terimakasih kepada kedua orang tuanya tetap
terlontarkan lewat mulutnya setidaknya mereka masih
ingat dengan anaknya. Itu memori indah terakhirnya.
Awalnya sebelum kedua orang tuanya menjadi
pengusaha sukses, kehidupan mereka tak seperti saat ini. Bundanya sering meluangkan
waktu di rumah. Namun, semenjak usaha ayahnya melonjak sukses mau tidak mau bunda
Nayla harus membantu. Seiring berjalannya waktu, ia merasa perhatian bunda
kepadanya mulai berkurang dan bahkan tidak ada samasekali. Untuk seorang anak seperti
Nayla, itu menjadi beban tambahan. Secara tidak langsung itu berdampak pada pikirannya.
Menghabiskan waktu hanya di rumah dan sekolah. Bik Marsih juga memberlakukan aturan yang ketat untuk Nayla agar ia selalu dalam pengawasan. Segala aktifitas yang
dilakukan oleh Nayla, bik Marsih harus mengetahuinya. Bukan hanya aturan saja
yang diberikan, bik marsih juga sering berbagi kisah pengalaman hidup dan
sering sharing bersama. Sehingga
Nayla pun mengetahui untuk apa aturan itu diberlakukan kepadanya. Selama itu ia lebih dekat dengan pengasuhnya yang sudah
bertahun-tahun merawat Nayla dari ia belum bisa berjalan sampai sekarang. Di
saat ia sakit pun orang tuanya tidak memerhatikannya. Orang tuanya lebih mengandalkan bik
Marsih yang menjadi orang kepercayaan untuk merawat anak mereka, Nayla. Di mana ia sedang
membutuhkan seseorang untuk mendampinginya, bibi Marsih lah yang setia
mendampingi dan merawat dengan penuh kasih sayang layaknya posisinya
sebagaimana orang tua pada umumnya kepada anaknya. Namun, beda halnya dengan
orang tua Nayla.
*****
Pernah di suatu hari saat Upacara Bendera di
tengah lapangan yang terik dan panas berjam-jam lamanya Nayla pingsan. Kejadian
ini sering terjadi padanya karena ada satu kelemahan yang ada padanya. Tubuhnya
tak kuat menyangga dan bertahan di tengah terik matahari. Sehingga masuk UKS
setiap pagi di hari Senin menjadi tempat langganannya. Bahkan jika sampai sakit
kepalanya kambuh dan tak bisa tertahankan, rumah sakit menjadi jalan keluarnya.
Keluhan yang ia rasakan tak jauh beda saat
makan bersama Zain di kantin tiba-tiba sakit kepala menyerangnya. Sakit kepala
disertai mual-mual. Hal ini berpengaruh dengan pendengarannya dan ia mengalami
gangguan sementara pada pendengarannya.
Untuk menghadapi UASBN pun ia tak yakin 100% bisa
melewatinya meskipun jika yakin, keyakinan itu tak sepenuhnya 100%. Sudah
banyak pelajaran yang selalu diremedial karena tidak sesuai dengan standart
minimal ketuntasan (KKM). Terutama pada pelajaran IPA yang selalu mengandalkan
hitung menghitung. Bukan karena ia bodoh atau malas belajar. Bila ia terlalu
memaksakan otaknya untuk berfikir keras, ia akan mengalami sakit kepala yang
amat sangat. Otaknya tak sanggup untuk menampung banyak beban pikiran.
Saat berjalan ia tak bisa menyeimbangkan tubuhnya,
seakan bumi ini yang menggoyangkannya. Membaca terlalu lama pun ia tak sanggup.
Daya penglihatannya lama-lama memudar, semakin tak jelas. Begitu banyak cobaan yang harus
ia dapatkan untuk anak 11 tahun.
Tentang keluhan yang selama ini dialami Nayla
pastinya tak luput dari sepengetahuan bik Marsih. Tentunya bik Marsih juga
tidak lupa memberikan kabar kepada orang tuanya tentang kondisi Nayla yang tak
bisa dianggap penyakit kepala biasa. Namun sayang, orang tuanya lebih percaya
apa kata hati mereka bahwa anaknya hanya sakit kepala biasa dan hanya bisa
memberikan saran agar minum obat teratur.
“Bik, bibi lagi ngomong sama siapa di telpon?”
Tanya Nayla tiba-tiba masuk ke dapur.
“Ini non, bunda non.”
“Hah… bunda. Sini bik kasih telponnya ke Nayla,
Nayla mau ngomong.” Nayla begitu bahagia saat bundanya menghubunginya. Beribu-ribu
rasa rindu menumpuk dalam hatinya. Namun…
“Yah, maaf non, telponnya keburu dimatiin ama
bunda. Tadi bilangnya ada pekerja baru yang mau melamar pekerjaan.”
Nayla sangat kecewa dengan sikap orang tuanya
yang lebih menomor-satukan pekerjaannya dibanding anaknya sendiri. Apa sih nilai seorang anak dibanding sebuah pekerjaan? Perasaannya berontak. Perlahan tetesan air mata jatuh ke pipinya. Sebenarnya ia tahu tak ada
gunanya menangis. Seberat apapun tangisan Nayla, orang tuanya tak akan datang demi meladeni tangisannya. Mereka lebih
mengandalkan seorang bibi yang menjadi tanggung jawab anaknya.
Uang merupakan segala-galanya bagi mereka. Kebahagiaan
bisa dinilai dari banyaknya harta yang dimiliki. Mereka justru tak mengetahui
harta sesungguhnya. Harta yang akan bisa membawaya ke Surga akhirat kelak jika
mereka berhasil merawatnya dengan kasih sayang, sehingga menjadi pribadi yang
unggul dan sholehah, siapa lagi kalau bukan ‘buah hati seorang bunda’.
*****
Alarm berbunyi
berulang kali menunjukkan pagi telah datang tapi dia merasa enggan bangun dari
kasur sampai jarum jam menunjukkan selisih 5 jam dari jadwal bangunnya. Badannya terasa berat untuk
digerakkan. Ada sesuatu yang berbeda ia rasakan. Suhu badannya naik, ia demam.
Tak biasanya ia tidur sampai sesiang ini meskipun hari libur sekolah.
Selambat-lambatnya ia bangun munkin sampai jam 6 pagi kecuali jika sakit.
Perasaan bik Marsih tidak enak. Awalnya ia
sedang memasak di dapur, ia putuskan untuk meninggalkan dapurnya dan naik ke
lantai atas menuju kamar Nayla. “Tok… tok… tok...” suara ketukan pintu. Tapi tak ada jawaban dari
dalam kamar Nayla. Diketuknya dua kali masih tidak ada jawaban masuk dari Nayla. Akhirnya ia terpaksa masuk dan melihat Nayla sedang
menyelimuti tubuhnya dan menggigil. Sambil
menyentuh dahinya yang berkeringat, “ya Allah non, badan non
Nayla panas sekali? Sebentar bibik ambilkan obat untuk non.”
“Nggak usah bik, cukup ambilkan Nayla air putih
hangat aja.” Suara Nayla lesu. Sebenarnya ia tak begitu suka dengan rasa obat
dan tidak bisa menelan padatnya obat tanpa bantuan dari sesuatu yang lunak.
“Iya non saya ambilkan. Apa perlu telepon dokter?”
“Nggak perlu, ini mungkin cuma kecapean.”
“Tapi badan non panas sekali. Saya teleponkan dokter aja
yah setidaknya bisa cepat langsung dapat obatnya, jadi non bisa cepat sembuh.”
“Uhuk...uhuk...uhuk...” suara batuk yang aneh
tak seperti batuk normal. Bahkan saat batuk ia tak bisa mengambil nafas karena
batuknya yang panjang. Saat bik Marsih hendak menghubungi dokter, ia melihat
banyak bercak-bercak merah di kasurnya terutama pada bantal.
“Astaghfirullah non, ini apa? Non berdarah?”
bik Marsih sangat shock.
“Enggak kok bik, Nay nggak berdarah.” Ia tak sadar
begitu banyak bercak darah di sampingnya karena matanya selalu terpejam menahan
rasa sakit di kepala sampai-sampai tak memperhatikan cairan merah yang keluar
dari mulutnya.
Setengah jam kemudian dokter datang dan
memeriksa keadaan Nayla. Dokter bilang sepertinya
penyakit yang diderita Nayla agak serius jadi butuh dibawa ke rumah sakit. “Kalau boleh tahu,
keluhan apa yang selama ini Nayla alami?” tanya dokter itu kepada bik Marsih
dengan mengajaknya menjauh dari tempat tidur Nayla agar ia tak bisa mendengar
isi pembicaraan mereka.
“Kalau mengeluh sakit kepala sangat sering,
bahkan sampai menangis karena tak tahan menahan sakitnya. Berulang kali juga ia
sering pingsan kalau di sekolah.”
“Adakah gejala lain selain sakit kepala” sebuah
kepastian yang dicek oleh seorang dokter untuk mendeteksi penyakit pasiennya.
Bik Marsih diam, berfikir sejenak “ada dok,
selama ini menurut keluhan dari Nayla, dia tidak bisa mengerjakan soal-soal
ulangannya karena penglihatannya perlahan memudar, dan selalu mengeluh pusing,
sehingga konsentrasinya sering menurun. Untuk berjalan pun terkadang sulit
menjaga keseimbangan.”
“Apakah saat itu pendengaran Nayla juga ikut
terganggu?” Pertanyaan kedua dari dokter untuk memastikan apa gejala-gejala
tersebut sesuai dengan perkiraannya atau hanya sekedar sakit kepala biasa.
“Waduh, kalau itu saya kurang tahu dok, karena
non Nayla nggak pernah cerita keluhan yang itu.”
Yang mendukung kuat perkiraan dokter adalah
darah yang keluar melalui mulutnya. Itu tak biasa dialami bagi orang yang sakit
kepala biasa. Dan gejala itu hanya terdapat pada penderita kanker otak.
“Oke,
kalau begitu sepertinya informasi yang saya dapatkan cukup jelas.”
“Jadi penyakit yang diderita non Nayla?” Tanyanya
penasaran.
“Menurut dugaan sementara saya, Nayla terkena
kanker otak. Hal ini diperkuat dengan darah yang keluar melalui mulutnya.
Selanjutnya didukung oleh penurunan daya konsentrasi dan penglihatan.
“Hah, apa dok?? Itu tak mungkin. Tak mungkin
anak sekecil dia terkena kanker otak.” Pekataan dokter yang tak bisa ia terima
begitu saja. Membuatnya seakan-akan darah di sekujur tubuhnya naik ke kepala.
Selama ini ia juga tak pernah berfikir sejauh itu untuk menetapkan penyakit
yang diderita Nayla meskipun ia sering mengeluh sakit kepala.
“Oh ya,
satu hal lagi yang belum saya tanyakan. Apakah sakitnya disertai dengan
mual-mual dan muntah?”
“Iya dok, tapi tidak setiap sakit kepalanya
kambuh ia mual dan muntah.”
“Ngomong-ngomong kalau boleh tahu orang tuanya
di mana?” Selingan pertanyaan dari dokter yang
sebenarnya tak ada hubungannya langsung dengan penyakit Nayla. Melihat
kondisinya yang seperti itu tak mungkin orang tuanya tidak ada di tempat.
“Orang
tua non Nayla adalah seorang pengusaha sukses, jadi kebanyakan waktu mereka
luangkan untuk pekerjaannya. Dan sekarang mereka lagi ke luar kota.”
“Sebaiknya bik Marsih cepat hubungi kedua orang
tuanya untuk menjenguknya. Tak baik juga buatnya jika lama-lama ditinggal orang
tuanya. Mungkin salah satu yang bisa memperparah kondisinya karena hal itu.
Butuh support yang kuat selain dari sendiri juga
orang tua.” Saran dokter.
“Baik dok segera saya akan menghubungi orang
tua Nayla untuk segera menjenguknya.” Balas bik Marsih dengan harapan yang
besar agar orang tua Nayla bisa pulang. Sesuai kebiasaan, dengan alasan apapun
yang terjadi tak bisa menjadi alasan yang kuat untuk membuat mereka kembali. Dokter beranjak keluar
kamar dan pergi. Sebelumnya ia mengatakan “Segera mungkin Nayla dibawa ke rumah sakit. Ini untuk
kepastian. Untuk hasil akhirnya kita serahkan kepada
Allah.”
“Terimaksih banyak dok.”
Tak lama kemudian bikMarsih menghubungi kedua
orang tua Nayla agar cepat pulang. Bik Marsih hanya memberikan penjelasan
singkat mengenai penyakit Nayla bahwa ia mengalami sakit kepala yang amat
sangat. Ia terlalu gugup untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Ia sangat shock dengan
hipotesis dokter bahwa Nayla terkena kanker otak. Namun jawaban yang diberikan
tidak sesuai dengan harapan bik Marsih.
“Bik Marsih sudah hubungi dokterkan?”
“Sudah bu, tapi non Nayla ingin ketemu
Anda." Kata bik Marsih berusaha memperkuat alasan untuk meminta mereka
pulang.
“Maaf bik, saya dan suami saya tidak bisa
pulang hari ini masih banyak kerjaan yang harus kami selesaikan terlebih
dahulu. Jika tidak, bisa mengancam perusaan kami. Sampaikan salam kami saja
ke Nayla dan semoga lekas sembuh.”
Sebenarnya ia tahu alasan ini tak akan
berhasil. Dengan berat hati bik Marsih mengatakan yang sejujurnya kepada mereka. “Sebenarnya
non… Non
Nayla terkena kanker otak.” Suaranya disertai isakan tangis. ”Tapi ini masih dugaan
sementara dokter. Dan dokter juga menyarankan agar non cepat balik.”
Mendengar kabar itu orang tuanya kaget. Tak
percaya apa yang dikatakan bik Marsih. Ekspresi yang ditunjukkan tak jauh
berbeda saat pertamakali bik Marsih mendengar berita itu dari dokter. Ternyata
hanya alasan seperti ini yang dapat melunakkan hati orang tua Nayla untuk
kembali ke rumah. Tapi akan memakan waktu lama untuk kepulangan mereka ke
rumah.
Saat itu juga bik Marsih langsung membawanya ke rumah sakit
Kasih Bunda, tempat dokter Ridwan bekerja. Supir setia Nayla, pak Halim selalu
siap mengantarkan Nayla ke mana pun tujuannya. Dengan rasa was-was mendengar
penyakit yang diderita Nayla sambil menyetir, pak Halim juga ikut khawatir dan sedih. Ia sudah menganggap Nayla
sebagai putrinya sendiri.
Nayla harus dirawat inap. Biaya tiap hari yang
dikeluarkan hampir 5 juta. Sebenarnya
itu bukan menjadi pertimbangan yang berat bagi
orang tuanya untuk memilihkan ruang VIP.
Bahkan untuk biaya yang lebih dari itu tanpa berpikir dua kali pun mereka
sanggup.
Penyakit yang dideritanya semakin parah.
Batuknya semakin menjadi. Banyak cairan berwarnna merah yang keluar melalui
mulutnya. Entah apa yang menyebabkan cairan itu keluar. Dengan ketabahan dan
kesabaran dari seorang Nayla ia berusaha menahan rasa sakitnya. Rasa sakit di
kepalanya tak bisa terbayangkan oleh sakit kepala biasa. Matanya sudah mulai
memucat. Hanya panjatan doa yang bisa bik Marsih dan pak Halim lakukan.
Semalaman mereka menunggu Nayla di ruang inap
bersignal BV-1. Ruangan yang cukup mewah hanya dihuni oleh seorang pasien.
Banyak alat bantu kesehatan yang menempel pada tubuh untuk menunjang hidupnya.
Selama semalaman pula mereka menunggu kedatangan orang tua Nayla. Namun tak
kunjung datang. Telpon berusaha dihubungi, tapi tetap saja tak ada jawaban.
Mereka semakin khawatir dengan keadaannya yang semakin memburuk tanpa
pendamping dari orang tua pula. Tak lama kemudian ada satu SMS baru masuk. Bik,
sekarang kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit Kasih Bunda. Tunggu
kedatangan kami sebentar lagi.
“Alhamdulillah...” ucapan syukur terlontar dari
mulut bik Marsih. “Non, yang sabar yah. Sebentar lagi bunda dan ayah non akan
sampai di sini menjenguk non.”Tak ada sedikit respon pun yang diberikan Nayla.
Entah dia bisa mendengar atau tidak. Wajahnya seperti keadaan orang sedang
koma.
“Tok... tok... tok...” terdengar ketukan pintu
dari luar. Bik Marsih yang membukanya dan tak lain adalah bunda dan ayah Nayla.
“Alhamdulillah, akhirnya non datang juga.” Sambil mengusap air matanya yang
jatuh di pipi ia berkata “saya tak tega lagi melihat kondisi non Nayla seperti
itu.”
Secepat kilat bundanya langsung memeluk anak
semata wayangnya yang sebenarnya ia telah sia-siakan. Hal ini baru tersadar
dibenak mereka.
“Nak, maafkan bunda dan ayah yang selama ini kurang
memperhatikan kesehatan Nayla.”
Bunda dan ayahnya juga berlinang air mata.
Seakan mereka baru menerima tamparan besar atas perbuatan mereka selama ini.
Mereka pikir sakit yang selama ini dikeluhkan Nayla hanyalah sakit kepala
biasa. Bik Marsih akhirnya menceritakan keluh kesah dari seorang Nayla yang selalu
ditinggal oleh orang tuannya. Mereka baru sadar apa yang selama ini dilakukan
untuk Nayla tidak ada yang membuatnya bahagia. Hanya uang yang menjadi taraf
kebahagiaan mereka. Penyesalan yang amat sangat muncul dari benak terutama
seorang ibu yang telah sengaja menyia-nyiakannya.
Tiba-tiba suara rintihan terdengar tipis yang
tak lain adalah suara Nayla “Bun... bunda...”
“Iya nak, bunda sekarang di sini bersama
Nayla.”
“Bun, Nayla sudah nggak tahan lagi menahan
sakit ini.” Suaranya tertatih-tatih memaksakan dirinya untuk bicara. Dilihatnya
dari Elektro Kardio Graf (EKG) detak jantungnya mulai melemah. Perasaan orang
di sekelilingnya bertambah khawatir. Bik Marsih sampai membalikkan badannya. Seakan
bisa merasakan sakit yang diderita gadis sekecil itu yang hanya dipikulnya
seorang diri. Tangisannya tersedu-sedu.
“Bunda sangat meminta maaf kepada Nayla. Ini
semua kesalahan bunda. Bunda tidak memberikan perhatian yang banyak ke Nayla.
Besok kalau Nayla sudah sembuh, bunda berjanji akan terus mendampingi Nayla. Jadi
Nayla harus sembuh yah.” Ucapannya tersedu-sedu karena menahan tangisnya.
Hanya senyuman kecil yang bisa Nayla berikan
untuk yang terakhir kalinya. “Nayla
sayang bunda dan ayah.”
“Tiiiiiiitttt.....” tak salah lagi suara itu
berasal dari EKG yang menunjukkan tidak adanya kinerja jantung pada seseorang.
Hanya beberapa detik di terakhir hidupnya, Nayla akhirnya bisa merasakan
kedekatan dengan orang tuanya. Meskipun ternyata Tuhan mempertemukan dan
mempersatukan mereka melalui sakit yang dideritanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar