Senin, 30 April 2012


a Wish

                Bosan, sepi, hanya diam yang bisa ia perbuat. Itulah keseharian yang selalu ia lewati bersama suasana yang sebenarnya tak sama sekali ia inginkan. Jarum pendek tepat menunjukkan pukul 12 tengah malam. Menunggu kedua orang tuanya datang, namun belum datang juga. Ia termenung di atas tempat tidur, mata menatap langit atap yang polos dengan ukiran yang menarik menunjukkan arsitektur rumah yang unik, seolah berpikir. Meskipun jika diterjemahkan dengan kata-kata ia tak mungkin bisa mengunggkapkannya karena dia sendiri tak bisa mengambil kesimpulan dari apa yang sedang ia pikirkan. Hanya cahaya rembulan yang bisa menemaninya di kegelapan malam. Terpancar dari kaca cendela yang masih terbuka. Suara hewan malam memecahkan pikirannya. Memindahkan posisi, termenung di bawah padang  rembulan malam yang terpisahkan oleh kaca. Dengan menatap cahaya rembulan “sampai kapan ini akan berakhir?” suaranya penuh dengan rintihan.

                Ia tak mengingat besok hari terakhir sekolah setelah melaksanakan ujian akhir sekolah atau lebih tepatnya disebut UASBN untuk anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, meskipun hari yang didapatkan akan membuatnya sedih. Ia mencoba menutup mata memasuki alam mimpi. Namun usahanya tak berhasil. Jalan lain pun ia tempuh. Bangun dari tempat tidur menuju ke kamar mandi mengambil air wudlu untuk sholat malam. Kebiasaan ini sering ia lakukan semenjak ia kelas 4 SD. Guru agama yang telah mengajarinya. Ia panggil Bunda May, meskipun panggilan itu tak akrab untuk dilontarkan bagi teman-teman sebayanya kepada ibu May. Ia merasa hanya bunda Maylah satu-satunya orang yang dekat dengannya.
                Alarm berbunyi menunjukkan pukul 4 subuh telah tiba. Bagai mengangkat batu raksasa oleh tangan untuk menjauhkan selimut dari tubuh karena semalaman ia sulit tidur. Menunda bangunnya sampai pukul setengah 5 pagi. Alarm berbunyi untuk yang kedua kalinya setelah ia setting setiap setengah jam sekali alarm akan berbunyi. Matanya langsung terbelalak namun ia tak sadar mengapa hal itu terjadi. Oh tidak, ia belum sholat subuh. Warna kemerahan di langit sudah menampakkan kecerahannya, beranjak menuju kamar mandi.
                Sebelum ia berangkat sekolah, “bunda… aku lapar aku mau makan.” Teriaknya. Rumahnya yang luas dan mewah membuatnya sulit memanggil orang tuanya atau orang di dalam rumah dengan nada yang pelan dan lembut.
                “Iya, sebentar non, ini bibi lagi masakin makanan kesukaan non.” balas bikMarsih yang mewakilkan pesan bunda karena bibi tahu orang tuanya sudah berangkat kerja.
                “Kok, bik Marsih lagi yang masakin buat Nayla. Bunda sama ayah mana?” Pertanyaan yang sebenarnya bisa ia jawab namun ia sangat tak berharap jawaban itu benar. Meskipun kenyataannya memang benar.
                “Bunda sama ayah sudah berangkat sejak jam 5 pagi tadi.
                “Kenapa mereka nggak pamitan dulu ke Nayla?” Tanya Nayla kesal.
                “Sebenernya mereka mau pamitan ke non Nayla, tapi keburu telat kerja dan takut ganggu non Nayla yang masih tidur, karena harus ada beberapa tugas yang harus mereka selesaikan. Ini ada surat dari bunda untuk permintaan maaf. Belum bibik buka. Katanya bibik suruh ngasih ini ke non Nayla.”
                Isi surat,
Nayla sayang...
Bunda dan ayah minta maaf karena pagi ini tidak bisa menemani Nayla sarapan. Kami harus berangat pagi-pagi karena ada beberapa masalah di pekerjaan kami yang harus kami selesaikan. Jadi bunda dan ayah sekali lagi minta maaf karena tidak berpamitan terlebih dahulu ke Nayla. Tapi jangan khawatir, bunda dan ayah sudah menyiapkan uang di lemari kamar Nayla. Semoga cukup untuk jajan Nayla di sekolah. Hati-hati di jalan dan baik-baik di sekolah. Insyaallah bunda dan ayah akan pulang 3 hari lagi.
x x x
Your Lovely Parents
Dad’s and Mom’s Nayla        
                “Pekerjaan lagi… Pekerjaan lagi. Kenapa sih pekerjaan mereka yang dinomor satukan. Naylakan juga butuh perhatian. Ngucapin sayang ke nayla aja pake lewat surat, kalo nggak gitu lewat telpon.” Sentak Nayla dengan sebal.
                “Sabar non, maklum orang tua non Naylakan pengusaha. Jadi mungkin mereka tidak punya pilihan lain selain menyisakan banyak waktu untuk pekerjaan mereka.”
                “Yah bibi, kok jadinya malah belain orang tua Nayla. Nayla juga butuh kasih sayang dan perhatian. Apalagi kita sudah jarang sekali ngobrol bareng bahkan nggak pernah. Mungkin yang diucapin cuma sebatas “good morning honey, hati-hati di sekolah yah, ayah bunda berangkat dulu ya” huh…”
                Nayla sangat kesal dengan sikap orang tuanya yang baginya tak acuh kepadanya. Ia merupakan anak tunggal yang dilahirkan dari keluarga yang sangat berkecukupan bahkan berlimpah harta. Namun harta yang selama ini Nayla nikmati untuk kebutuhan hidup tak membuatnya merasa bahagia tinggal di rumahnya sendiri. Ada satu hal yang kurang darinya dan itu tak pernah didapatkannya saat mulai menginjak bangku sekolah dasar.
*****
                Di suatu pagi yang berbeda di sekolah, Nayla melihat sosok wajah yang asing di kelasnya. Bermata sipit bagai mata kucing, kulitnya putih bersinar. Duduk di bangku pojok kelas, tempat Nayla terbiasa menyindiri merasakan kegalauan.Tanpa berfikir lagi, ia langsung menghampirinya, “Hei, are you a new student...?” Tak ada balasan, “Hallo? Can you hear me?” Aneh sekali. Wajahnya memberikan kesan pertama bagi orang yang melihatnya, cuek. Atau mungkin karena saking fokusnya dengan buku bacaannya sampai-sampai tidak memperhatikan sekitar. Tanpa bertanya, Nayla langsung duduk di sampingnya. Berpikir kata apa yang cocok sebagai kata pembuka perkenalan. Ia teringat kata yang ia lontarkan tadi adalah kata bahasa Inggris. Jangan-jangan anak baru itu tidak mengerti apa yang aku ucapkan atau aku salah dalam mengucapkan kata pembuka perkenalan. Ia membodohkan dirinya sindiri. Memukulkan pena di kepalanya. Inikan Indonesia bukan Inggris. Dari kecil Nayla sudah mendapatkan pendidikan bahasa Inggris melalui kursus. Kedua orang tuanya sangat fasih berbicara bahasa Inggris. Pastinya kemampuan itu akan diturunkan ke anaknya. Bahkan orang tuanya pun sering mempraktikkannya saat berbicara langsung ke Nayla.
                “Kring...kring...kring...” bunyi bel tiga kali menunjukkan jam istirahat. Nayla berusaha mengajaknya berbicara. Namun ia masih juga binggung dengan kata-kata pembuka. Berfikir sejenak dan “Hai, kenalin namaku Nayla” katanya sambil mengulurkan tangan. Ia balas ajakan salaman anak perempuan itu.
                “Zain...” balasnya tanpa senyuman. Matanya tetap fokus dengan buku yang di bacanya. Bisa diambil kesimpulan sementara kalau ia suka membaca. Tak mau menanggapi kecuekannya, Nayla pun beranjak dari tempat duduknya untuk membeli makanan di kantin. Saat berdiri, tiba-tiba kepalanya terasa pening. Matanya tidak bisa fokus, bumi seakan berputar tak menentu. Banyak cahaya kecil-kecil di matanya. Diam sejenak, “are you ok?” celetuk Zain reflek.
                I’m ok...” jawabnya berusaha mengkontrol kondisi. Ia tetap menuju ke kantin.
                “Eh, tunggu... mau ke mana?”
 Sempat membuat Nayla sedikit terkejut, “ke kantin!” jawabnya singkat.
“Kebetulan perutku juga lapar, kita pergi bersama?” tawarnya. Itu juga karena ia merasa sebagai anak baru yang masih belum tahu banyak tentang sekolah barunya. Butuh seseorang sebagai guide.
Saat menuju kantin, Nayla hanya diam dan tidak berkata apa-apa kepada Zain, tak sibuk berpikir kata-kata apa yang harus dikatakan untuk mengisi kesunyian diantara mereka berdua. Bukan karena ia tahu respon apa yang bakal dilontarkan, namun karena kepalanya yang terasa sakit berusaha ditahan. Kesunyian terpecahkan oleh tawaran traktiran dari Zain, “mau ku traktir?”
Hanya gelengan dan senyuman kecil nampak di wajahnya. Tidak, terimakasih. Lama kelamaan, Zain merasa ada yang aneh pada Nayla. Wajahnya berbeda agak memucat dari pertama kali mereka bertemu.
“Nay, kamu nggak papa?” sambil melihat wajah Nayla yang merunduk seperti menahan sakit.
Ia hanya mengangguk, menandakan ia baik-baik saja. Ucapan yang seakan-akan memotifasinya untuk tidak sakit ternyata sia-sia.Tak tahan menahan sakit, ia langsung duduk saat Zain akan memesan makanan.
“Nggak mungkin, pasti kamu sakit, butuh ke UKS?” Zain menawarkan bentuk kepeduliannya.
Tak kuat menyembunyikan sakitnya, tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat kecuali menerima tawaran Zain untuk menemaninya pergi ke UKS. Jarak UKS dari kantin hanya 10 meter. Cukup kuat bagi Nayla untuk melangkahkan kakinya. Tak hanya pusing saja yang ia rasakan. Mual-mual dan badan terasa nyeri menyertai. Penglihatannya sudah mulai kabur, tapi tak sampai membuatnya pingsan.
Sampainya di UKS, Zain menyerahkannya pada ibu pengurus UKS untuk memberikan obat dan mempersilahkan istirahat, berbaring di atas kasur. Setelah itu Zain meninggalkannya setelah mendengar bel masuk kelas sambil mengatakan, “Nay, kutinggal dulu yah, cepat sembuh.” Ia tak berkutik sedikitpun. Hanya diam dan menikmati rasa sakitnya.
Bel sekolah berdering lima kali menunjukkan hari terakhir sekolah dan hari libur pun di mulai. Teman-temannya sangat senang menyambut hari libur karena pasti sebagian dari mereka akan menghabiskan waktu libur mereka bersama keluarga mereka. Hal ini membuat sesuatu yang berbeda pada Nayla. Baginya menyambut hari libur bagaikan menyambut hari kepedihan yang akan ia jalani selama masa liburan berakhir. Karena ia tahu, pasti akan menghabiskan waktu di rumah sindirian tanpa canda tawa dari seorang bunda maupun ayah bahkan sedikit perhatian pun tak akan ia dapatkan. Namun setidaknya masih terbesit sedikit rasa syukur pada dirinya karena ada orang yang masih sayang dan memberikan perhatian kepadannya. Terutama untuk gurunya bu May yang sering ia panggil bunda May karena sosoknya yang sangat keibuan meskipun bu May belum berkeluarga dan bik Marsih yang setia bekerja bertahun-tahun di rumah Nayla dan orang yang selalu merawatnya serta teman yang baru ia kenal beberapa jam yang lalu, Zain. Ia memang terkenal pendiam di kelas. Cenderung menyendiri jika ia sedang galau. Ia pun tak begitu baik dalam hal bersosialisasi kepada teman, kecuali seseorang yang benar-benar ia mau untuk dijadikan teman yang bisa saling mengerti.
                Bu May sangat mengetahui betul bagaimana keadaan Nayla. Dari situ akhirnya ia banyak memberikan perhatian dan sanggup menampung seluruh keluh kesah yang dialami Nayla. Meskipun ia bakal tahu cerita apa selanjutnya yang akan diceritakan kepadanya. Tidak lain adalah keluarga Nayla sendiri. Ia selalu memberikan nasihat untuk tidak lupa melaksanakan sholat lail sebagai tempat yang paling baik untuk mengungkapkan seluruh keluh kesah selama menjalani hidup. Dan doa yang dipanjatkan saat sholat lail adalah doa yang mustajabah apalagi bagi anak yang belum melewati masa baligh. Setidaknya itulah satu hal yang patut untuk Nayla syukuri.
“Allah Azza W  Jalla akan turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam yang terakhir, seraya berfirman, ’Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan menerima permintaannya dan siapa yang meminta keampunan dari-Ku maka Aku akan mengampuninya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
                Wajar jika rasa iri muncul kepada teman-temannya yang setiap hari mendapatkan perhatian dari orang tua mereka. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar jemput oleh kedua orang tua mereka. Meskipun sebagian dari mereka tidak bisa merasakan kasih sayang orang tua karena kemanjaan mereka. Pernah ia mencoba sepulang sekolah duduk di tempat penungguan khusus anak-anak yang diantar jemput oleh orang tua mereka dengan persyaratan mereka yang menjemput harus mempunyai kartu identitas diri yang diberikan oleh pihak sekolah untuk menghindari penculikan yang akhir-akhir ini sering terjadi pada siswa sekolah dasar. Meskipun ia tahu hal ini tak akan pernah terjadi, namun setidaknya dengan andaian ini sedikit kebahagian muncul dalam dirinya. Ia berharap suatu saat ada orang yang turun dari mobil berjalan menghampirinya untuk mengajaknya pulang, ditambah dengan kecupan manis yang diberikan tidak lain adalah orang tuanya sendiri. Tapi wajah itu tak berubah, tetap seperti yang biasanya ia temui setelah pulang sekolah. Tak lain adalah supirnya sendiri pak Halim yang menghampirinya untuk mengajaknya pulang. Sudah menjadi tanggung jawab dan tugas pak Halim untuk menjaga dan membawanya selamat sampai rumah. Itulah satu-satunya impian yang belum ia dapatkan dan bahkan munkin tak pernah ia dapatkan lagi karena kesibukan orang tua yang tiada henti. Berangkat pagi-pagi buta sebelum ia bangun dari lelapnya tidur dan pulang pun ketika ia sudah tidur.
                Ada satu memori kecil yang semakin hari sudah mulai memudar, namun ia berusaha mengingatnya karena itu sangat berarti bagi dirinya. Pernah, sekali ia dijemput oleh kedua orang tuanya sepulang sekolah. Itupun karena mereka kebetulan pulang kerja lebih awal dan jalan menuju kantor sejalan dengan sekolahnya. Ia sangat gembira meskipun orang tunya tidak berniat untuk menjemputnya, hanya semata kebetulan. Ucapan terimakasih kepada kedua orang tuanya tetap terlontarkan lewat mulutnya setidaknya mereka masih ingat dengan anaknya. Itu memori indah terakhirnya.
Awalnya sebelum kedua orang tuanya menjadi pengusaha sukses, kehidupan mereka tak seperti saat ini. Bundanya sering meluangkan waktu di rumah. Namun, semenjak usaha ayahnya melonjak sukses mau tidak mau bunda Nayla harus membantu. Seiring berjalannya waktu, ia merasa perhatian bunda kepadanya mulai berkurang dan bahkan tidak ada samasekali. Untuk seorang anak seperti Nayla, itu menjadi beban tambahan. Secara tidak langsung itu berdampak pada pikirannya.
Menghabiskan waktu hanya di rumah dan sekolah. Bik Marsih juga memberlakukan aturan yang ketat untuk Nayla agar ia selalu dalam pengawasan. Segala aktifitas yang dilakukan oleh Nayla, bik Marsih harus mengetahuinya. Bukan hanya aturan saja yang diberikan, bik marsih juga sering berbagi kisah pengalaman hidup dan sering sharing bersama. Sehingga Nayla pun mengetahui untuk apa aturan itu diberlakukan kepadanya. Selama itu  ia lebih dekat dengan pengasuhnya yang sudah bertahun-tahun merawat Nayla dari ia belum bisa berjalan sampai sekarang. Di saat ia sakit pun orang tuanya tidak memerhatikannya. Orang tuanya lebih mengandalkan bik Marsih yang menjadi orang kepercayaan untuk merawat anak mereka, Nayla. Di mana ia sedang membutuhkan seseorang untuk mendampinginya, bibi Marsih lah yang setia mendampingi dan merawat dengan penuh kasih sayang layaknya posisinya sebagaimana orang tua pada umumnya kepada anaknya. Namun, beda halnya dengan orang tua Nayla.
*****
Pernah di suatu hari saat Upacara Bendera di tengah lapangan yang terik dan panas berjam-jam lamanya Nayla pingsan. Kejadian ini sering terjadi padanya karena ada satu kelemahan yang ada padanya. Tubuhnya tak kuat menyangga dan bertahan di tengah terik matahari. Sehingga masuk UKS setiap pagi di hari Senin menjadi tempat langganannya. Bahkan jika sampai sakit kepalanya kambuh dan tak bisa tertahankan, rumah sakit menjadi jalan keluarnya.
Keluhan yang ia rasakan tak jauh beda saat makan bersama Zain di kantin tiba-tiba sakit kepala menyerangnya. Sakit kepala disertai mual-mual. Hal ini berpengaruh dengan pendengarannya dan ia mengalami gangguan sementara pada pendengarannya.
Untuk menghadapi UASBN pun ia tak yakin 100% bisa melewatinya meskipun jika yakin, keyakinan itu tak sepenuhnya 100%. Sudah banyak pelajaran yang selalu diremedial karena tidak sesuai dengan standart minimal ketuntasan (KKM). Terutama pada pelajaran IPA yang selalu mengandalkan hitung menghitung. Bukan karena ia bodoh atau malas belajar. Bila ia terlalu memaksakan otaknya untuk berfikir keras, ia akan mengalami sakit kepala yang amat sangat. Otaknya tak sanggup untuk menampung banyak beban pikiran.
Saat berjalan ia tak bisa menyeimbangkan tubuhnya, seakan bumi ini yang menggoyangkannya. Membaca terlalu lama pun ia tak sanggup. Daya penglihatannya lama-lama memudar, semakin tak jelas. Begitu banyak cobaan yang harus ia dapatkan untuk anak 11 tahun.
Tentang keluhan yang selama ini dialami Nayla pastinya tak luput dari sepengetahuan bik Marsih. Tentunya bik Marsih juga tidak lupa memberikan kabar kepada orang tuanya tentang kondisi Nayla yang tak bisa dianggap penyakit kepala biasa. Namun sayang, orang tuanya lebih percaya apa kata hati mereka bahwa anaknya hanya sakit kepala biasa dan hanya bisa memberikan saran agar minum obat teratur.
“Bik, bibi lagi ngomong sama siapa di telpon?” Tanya Nayla tiba-tiba masuk ke dapur.
“Ini non, bunda non.
“Hah… bunda. Sini bik kasih telponnya ke Nayla, Nayla mau ngomong.” Nayla begitu bahagia saat bundanya menghubunginya. Beribu-ribu rasa rindu menumpuk dalam hatinya. Namun…
“Yah, maaf non, telponnya keburu dimatiin ama bunda. Tadi bilangnya ada pekerja baru yang mau melamar pekerjaan.”
Nayla sangat kecewa dengan sikap orang tuanya yang lebih menomor-satukan pekerjaannya dibanding anaknya sendiri. Apa sih nilai seorang anak dibanding sebuah pekerjaan? Perasaannya berontak. Perlahan tetesan air mata jatuh ke pipinya. Sebenarnya ia tahu tak ada gunanya menangis. Seberat apapun tangisan Nayla, orang tuanya tak akan datang demi meladeni tangisannya. Mereka lebih mengandalkan seorang bibi yang menjadi tanggung jawab anaknya.
Uang merupakan segala-galanya bagi mereka. Kebahagiaan bisa dinilai dari banyaknya harta yang dimiliki. Mereka justru tak mengetahui harta sesungguhnya. Harta yang akan bisa membawaya ke Surga akhirat kelak jika mereka berhasil merawatnya dengan kasih sayang, sehingga menjadi pribadi yang unggul dan sholehah, siapa lagi kalau bukan ‘buah hati seorang bunda’.
*****
                Alarm berbunyi berulang kali menunjukkan pagi telah datang tapi dia merasa enggan bangun dari kasur sampai jarum jam menunjukkan selisih 5 jam dari jadwal bangunnya. Badannya terasa berat untuk digerakkan. Ada sesuatu yang berbeda ia rasakan. Suhu badannya naik, ia demam. Tak biasanya ia tidur sampai sesiang ini meskipun hari libur sekolah. Selambat-lambatnya ia bangun munkin sampai jam 6 pagi kecuali jika sakit.
Perasaan bik Marsih tidak enak. Awalnya ia sedang memasak di dapur, ia putuskan untuk meninggalkan dapurnya dan naik ke lantai atas menuju kamar Nayla. “Tok… tok… tok...” suara ketukan pintu. Tapi tak ada jawaban dari dalam kamar Nayla. Diketuknya dua kali masih tidak ada jawaban masuk dari Nayla. Akhirnya ia terpaksa masuk dan melihat Nayla sedang menyelimuti tubuhnya dan menggigil. Sambil menyentuh dahinya yang berkeringat, ya Allah non, badan non Nayla panas sekali? Sebentar bibik ambilkan obat untuk non.
“Nggak usah bik, cukup ambilkan Nayla air putih hangat aja.” Suara Nayla lesu. Sebenarnya ia tak begitu suka dengan rasa obat dan tidak bisa menelan padatnya obat tanpa bantuan dari sesuatu yang lunak.
“Iya non saya ambilkan. Apa perlu telepon dokter?”
“Nggak perlu, ini mungkin cuma kecapean.”
“Tapi badan non panas sekali. Saya teleponkan dokter aja yah setidaknya bisa cepat langsung dapat obatnya, jadi non bisa cepat sembuh.”
“Uhuk...uhuk...uhuk...” suara batuk yang aneh tak seperti batuk normal. Bahkan saat batuk ia tak bisa mengambil nafas karena batuknya yang panjang. Saat bik Marsih hendak menghubungi dokter, ia melihat banyak bercak-bercak merah di kasurnya terutama pada bantal.
“Astaghfirullah non, ini apa? Non berdarah?” bik Marsih sangat shock.
“Enggak kok bik, Nay nggak berdarah.” Ia tak sadar begitu banyak bercak darah di sampingnya karena matanya selalu terpejam menahan rasa sakit di kepala sampai-sampai tak memperhatikan cairan merah yang keluar dari mulutnya.
Setengah jam kemudian dokter datang dan memeriksa keadaan Nayla. Dokter bilang sepertinya penyakit yang diderita Nayla agak serius jadi butuh dibawa ke rumah sakit. “Kalau boleh tahu, keluhan apa yang selama ini Nayla alami?” tanya dokter itu kepada bik Marsih dengan mengajaknya menjauh dari tempat tidur Nayla agar ia tak bisa mendengar isi pembicaraan mereka.
“Kalau mengeluh sakit kepala sangat sering, bahkan sampai menangis karena tak tahan menahan sakitnya. Berulang kali juga ia sering pingsan kalau di sekolah.”
“Adakah gejala lain selain sakit kepala” sebuah kepastian yang dicek oleh seorang dokter untuk mendeteksi penyakit pasiennya.
Bik Marsih diam, berfikir sejenak “ada dok, selama ini menurut keluhan dari Nayla, dia tidak bisa mengerjakan soal-soal ulangannya karena penglihatannya perlahan memudar, dan selalu mengeluh pusing, sehingga konsentrasinya sering menurun. Untuk berjalan pun terkadang sulit menjaga keseimbangan.”
“Apakah saat itu pendengaran Nayla juga ikut terganggu?” Pertanyaan kedua dari dokter untuk memastikan apa gejala-gejala tersebut sesuai dengan perkiraannya atau hanya sekedar sakit kepala biasa.
“Waduh, kalau itu saya kurang tahu dok, karena non Nayla nggak pernah cerita keluhan yang itu.”
Yang mendukung kuat perkiraan dokter adalah darah yang keluar melalui mulutnya. Itu tak biasa dialami bagi orang yang sakit kepala biasa. Dan gejala itu hanya terdapat pada penderita kanker otak.
Oke, kalau begitu sepertinya informasi yang saya dapatkan cukup jelas.”
“Jadi penyakit yang diderita non Nayla?” Tanyanya penasaran.
“Menurut dugaan sementara saya, Nayla terkena kanker otak. Hal ini diperkuat dengan darah yang keluar melalui mulutnya. Selanjutnya didukung oleh penurunan daya konsentrasi dan penglihatan.
“Hah, apa dok?? Itu tak mungkin. Tak mungkin anak sekecil dia terkena kanker otak.” Pekataan dokter yang tak bisa ia terima begitu saja. Membuatnya seakan-akan darah di sekujur tubuhnya naik ke kepala. Selama ini ia juga tak pernah berfikir sejauh itu untuk menetapkan penyakit yang diderita Nayla meskipun ia sering mengeluh sakit kepala.
Oh ya, satu hal lagi yang belum saya tanyakan. Apakah sakitnya disertai dengan mual-mual dan muntah?”
“Iya dok, tapi tidak setiap sakit kepalanya kambuh ia mual dan muntah.”
“Ngomong-ngomong kalau boleh tahu orang tuanya di mana?” Selingan pertanyaan dari dokter yang sebenarnya tak ada hubungannya langsung dengan penyakit Nayla. Melihat kondisinya yang seperti itu tak mungkin orang tuanya tidak ada di tempat.
Orang tua non Nayla adalah seorang pengusaha sukses, jadi kebanyakan waktu mereka luangkan untuk pekerjaannya. Dan sekarang mereka lagi ke luar kota.”
“Sebaiknya bik Marsih cepat hubungi kedua orang tuanya untuk menjenguknya. Tak baik juga buatnya jika lama-lama ditinggal orang tuanya. Mungkin salah satu yang bisa memperparah kondisinya karena hal itu. Butuh support yang kuat selain dari sendiri juga orang tua.” Saran dokter.
“Baik dok segera saya akan menghubungi orang tua Nayla untuk segera menjenguknya.” Balas bik Marsih dengan harapan yang besar agar orang tua Nayla bisa pulang. Sesuai kebiasaan, dengan alasan apapun yang terjadi tak bisa menjadi alasan yang kuat untuk membuat mereka kembali. Dokter beranjak keluar kamar dan pergi. Sebelumnya ia mengatakan “Segera mungkin Nayla dibawa ke rumah sakit. Ini untuk kepastian.  Untuk hasil akhirnya kita serahkan kepada Allah.”
“Terimaksih banyak dok.”
Tak lama kemudian bikMarsih menghubungi kedua orang tua Nayla agar cepat pulang. Bik Marsih hanya memberikan penjelasan singkat mengenai penyakit Nayla bahwa ia mengalami sakit kepala yang amat sangat. Ia terlalu gugup untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Ia sangat shock dengan hipotesis dokter bahwa Nayla terkena kanker otak. Namun jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan harapan bik Marsih.
“Bik Marsih sudah hubungi dokterkan?”
“Sudah bu, tapi non Nayla ingin ketemu Anda." Kata bik Marsih berusaha memperkuat alasan untuk meminta mereka pulang.
“Maaf bik, saya dan suami saya tidak bisa pulang hari ini masih banyak kerjaan yang harus kami selesaikan terlebih dahulu. Jika tidak, bisa mengancam perusaan kami. Sampaikan salam kami saja ke Nayla dan semoga lekas sembuh.”
Sebenarnya ia tahu alasan ini tak akan berhasil. Dengan berat hati bik Marsih mengatakan yang sejujurnya kepada mereka. “Sebenarnya non… Non Nayla terkena kanker otak. Suaranya disertai isakan tangis.  ”Tapi ini masih dugaan sementara dokter. Dan dokter juga menyarankan agar non cepat balik.
Mendengar kabar itu orang tuanya kaget. Tak percaya apa yang dikatakan bik Marsih. Ekspresi yang ditunjukkan tak jauh berbeda saat pertamakali bik Marsih mendengar berita itu dari dokter. Ternyata hanya alasan seperti ini yang dapat melunakkan hati orang tua Nayla untuk kembali ke rumah. Tapi akan memakan waktu lama untuk kepulangan mereka ke rumah.
Saat itu juga bik Marsih langsung membawanya ke rumah sakit Kasih Bunda, tempat dokter Ridwan bekerja. Supir setia Nayla, pak Halim selalu siap mengantarkan Nayla ke mana pun tujuannya. Dengan rasa was-was mendengar penyakit yang diderita Nayla sambil menyetir, pak Halim juga ikut khawatir dan sedih. Ia sudah menganggap Nayla sebagai putrinya sendiri.
Nayla harus dirawat inap. Biaya tiap hari yang dikeluarkan hampir 5 juta. Sebenarnya itu bukan menjadi pertimbangan yang berat bagi orang tuanya untuk memilihkan ruang VIP. Bahkan untuk biaya yang lebih dari itu tanpa berpikir dua kali pun mereka sanggup.
Penyakit yang dideritanya semakin parah. Batuknya semakin menjadi. Banyak cairan berwarnna merah yang keluar melalui mulutnya. Entah apa yang menyebabkan cairan itu keluar. Dengan ketabahan dan kesabaran dari seorang Nayla ia berusaha menahan rasa sakitnya. Rasa sakit di kepalanya tak bisa terbayangkan oleh sakit kepala biasa. Matanya sudah mulai memucat. Hanya panjatan doa yang bisa bik Marsih dan pak Halim lakukan.
Semalaman mereka menunggu Nayla di ruang inap bersignal BV-1. Ruangan yang cukup mewah hanya dihuni oleh seorang pasien. Banyak alat bantu kesehatan yang menempel pada tubuh untuk menunjang hidupnya. Selama semalaman pula mereka menunggu kedatangan orang tua Nayla. Namun tak kunjung datang. Telpon berusaha dihubungi, tapi tetap saja tak ada jawaban. Mereka semakin khawatir dengan keadaannya yang semakin memburuk tanpa pendamping dari orang tua pula. Tak lama kemudian ada satu SMS baru masuk. Bik, sekarang kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit Kasih Bunda. Tunggu kedatangan kami sebentar lagi.
“Alhamdulillah...” ucapan syukur terlontar dari mulut bik Marsih. “Non, yang sabar yah. Sebentar lagi bunda dan ayah non akan sampai di sini menjenguk non.”Tak ada sedikit respon pun yang diberikan Nayla. Entah dia bisa mendengar atau tidak. Wajahnya seperti keadaan orang sedang koma.
“Tok... tok... tok...” terdengar ketukan pintu dari luar. Bik Marsih yang membukanya dan tak lain adalah bunda dan ayah Nayla. “Alhamdulillah, akhirnya non datang juga.” Sambil mengusap air matanya yang jatuh di pipi ia berkata “saya tak tega lagi melihat kondisi non Nayla seperti itu.”
Secepat kilat bundanya langsung memeluk anak semata wayangnya yang sebenarnya ia telah sia-siakan. Hal ini baru tersadar dibenak mereka.
“Nak, maafkan bunda dan ayah yang selama ini kurang memperhatikan kesehatan Nayla.”
Bunda dan ayahnya juga berlinang air mata. Seakan mereka baru menerima tamparan besar atas perbuatan mereka selama ini. Mereka pikir sakit yang selama ini dikeluhkan Nayla hanyalah sakit kepala biasa. Bik Marsih akhirnya menceritakan keluh kesah dari seorang Nayla yang selalu ditinggal oleh orang tuannya. Mereka baru sadar apa yang selama ini dilakukan untuk Nayla tidak ada yang membuatnya bahagia. Hanya uang yang menjadi taraf kebahagiaan mereka. Penyesalan yang amat sangat muncul dari benak terutama seorang ibu yang telah sengaja menyia-nyiakannya.
Tiba-tiba suara rintihan terdengar tipis yang tak lain adalah suara Nayla “Bun... bunda...”
“Iya nak, bunda sekarang di sini bersama Nayla.”
“Bun, Nayla sudah nggak tahan lagi menahan sakit ini.” Suaranya tertatih-tatih memaksakan dirinya untuk bicara. Dilihatnya dari Elektro Kardio Graf (EKG) detak jantungnya mulai melemah. Perasaan orang di sekelilingnya bertambah khawatir. Bik Marsih sampai membalikkan badannya. Seakan bisa merasakan sakit yang diderita gadis sekecil itu yang hanya dipikulnya seorang diri. Tangisannya tersedu-sedu.
“Bunda sangat meminta maaf kepada Nayla. Ini semua kesalahan bunda. Bunda tidak memberikan perhatian yang banyak ke Nayla. Besok kalau Nayla sudah sembuh, bunda berjanji akan terus mendampingi Nayla. Jadi Nayla harus sembuh yah.” Ucapannya tersedu-sedu karena menahan tangisnya.
Hanya senyuman kecil yang bisa Nayla berikan untuk  yang terakhir kalinya. “Nayla sayang bunda dan ayah.”
“Tiiiiiiitttt.....” tak salah lagi suara itu berasal dari EKG yang menunjukkan tidak adanya kinerja jantung pada seseorang. Hanya beberapa detik di terakhir hidupnya, Nayla akhirnya bisa merasakan kedekatan dengan orang tuanya. Meskipun ternyata Tuhan mempertemukan dan mempersatukan mereka melalui sakit yang dideritanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar