Jumat, 19 Februari 2016

Suara Siapa yang Pantas Didengar dan Tidak


                Pada tanggal 30 November 2015 telah diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Paris berkaitan dengan perubahan iklim dan pengembangan energi. Acara ini menghadirkan presiden Indonesia sebagai salah satu pembicara dan 134 kepala negara lainnya termasuk Presiden Obama sebagai pemimpin negara adidaya saat ini.
                Ada satu hal yang menarik perhatian saya dari headline ini. Prancis sebagai tuan rumah sudah pasti memperoleh kesempatan pertama menyampaikan pidatonya. Disusul Bill Gates, seorang pengusaha AS juga turut terlibat. Kesempatan berpidato selanjutnya diberikan kepada Presiden Obama. Seluruh peserta KTT terlihat sangat antusias pada awalnya. Nah, giliran Presiden Jokowi mendapatkan kesempatan berpidato, Obama pamit undur diri dari acara. Bukan hanya Obama, beberapa kepala negara lainnya juga ikut menyusul undur diri. Sangat terlihat mencolok pengurangan jumlah peserta dari awal acara. Padahal keterlibatan Indonesia bukan tanpa alasan. Sebagai negera dengan julukan paru-paru dunia karena potensi hutannya dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan iklim dunia. Selain itu, juga sebagai negara terkaya akan SDA dapat memberikan potensi besar dalam pengembangan energi terkini.
                Lalu, apa makna KTT ini? Bukankah pertemuan ini yang seharusnya menjadi kepentingan utama para pemimpin dunia berkumpul untuk membahas permasalah dunia. Undur dirinya Obama telah memberikan pesan tersirat, sebenarnya suara siapa yang pantas didengar dan mana yang tidak. Lupakah bahwa karena ‘kemurahan hati’ Indonesia, korporasi AS telah menduduki hampir 100% kekayaan alam Indonesia?
                Bahwa sebenarnya realita dunia saat ini telah mengungkapkan, tidak ada sahabat abadi, tidak ada kerjasama abadi, tidak ada bantuan seikhlas hati, tidak ada belas hati, yang ada hanyalah kepentingan pribadi yang abadi. Entah apa jadinya Indonesia yang masih mau melanjutkan kerjasamanya dengan korporasi asing yang jelas-jelas telah menyedot SDA milik rakyat. Bahkan seberapa banyak pergantian pemimpinpun, selama negara kita dikendalikan oleh asing, kepentingan asinglah yang menguasai. Namun, saya yakin kelak akan ada masa di mana kemulyaan manusia akan teraih. Bukan seperti kondisi saat ini di mana para pemimpin negeri justru tunduk dibawah arahan korporasi asing dan rakyatlah yang menjadi korban kesengsaraan atas kerakusan mereka. Butuh untuk menyadarkan hal ini kepada masyarakat dan masyarakat sendirilah yang akan menuntut adanya perumusan sistem terbaru dan terbaik untuk mengatasi permasalahan negeri.

Azimatur Rosyida
Mahasiswi, Surabaya
05 Desember 2015/20:46
Mencoba dikirim ke suara pembaca Republika belum berhasil. Please try again.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar