Pada tanggal 30 November 2015 telah diadakan Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) di Paris berkaitan dengan perubahan iklim dan pengembangan
energi. Acara ini menghadirkan presiden Indonesia sebagai salah satu pembicara
dan 134 kepala negara lainnya termasuk Presiden Obama sebagai pemimpin negara adidaya
saat ini.
Ada satu hal yang menarik
perhatian saya dari headline ini. Prancis sebagai tuan rumah sudah pasti memperoleh
kesempatan pertama menyampaikan pidatonya. Disusul Bill Gates, seorang
pengusaha AS juga turut terlibat. Kesempatan berpidato selanjutnya diberikan
kepada Presiden Obama. Seluruh peserta KTT terlihat sangat antusias pada
awalnya. Nah, giliran Presiden Jokowi mendapatkan kesempatan berpidato, Obama
pamit undur diri dari acara. Bukan hanya Obama, beberapa kepala negara lainnya
juga ikut menyusul undur diri. Sangat terlihat mencolok pengurangan jumlah peserta dari awal acara. Padahal keterlibatan Indonesia bukan
tanpa alasan. Sebagai negera dengan julukan paru-paru dunia karena potensi
hutannya dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan iklim dunia.
Selain itu, juga sebagai negara
terkaya akan SDA dapat memberikan potensi besar dalam pengembangan energi
terkini.
Lalu, apa makna KTT ini? Bukankah pertemuan ini yang seharusnya
menjadi kepentingan utama para pemimpin dunia berkumpul untuk membahas
permasalah dunia. Undur dirinya Obama telah memberikan pesan tersirat, sebenarnya suara siapa yang pantas didengar dan mana yang tidak. Lupakah
bahwa karena ‘kemurahan hati’ Indonesia, korporasi AS telah menduduki hampir
100% kekayaan alam Indonesia?
Bahwa sebenarnya realita dunia
saat ini telah mengungkapkan, tidak ada sahabat abadi, tidak ada kerjasama
abadi, tidak ada bantuan seikhlas hati, tidak ada belas hati, yang ada hanyalah
kepentingan pribadi yang abadi. Entah apa jadinya Indonesia yang masih mau
melanjutkan kerjasamanya dengan korporasi asing yang jelas-jelas telah menyedot SDA milik rakyat. Bahkan seberapa banyak
pergantian pemimpinpun, selama negara kita dikendalikan oleh asing, kepentingan
asinglah yang menguasai. Namun, saya yakin kelak akan ada masa di mana kemulyaan
manusia akan teraih. Bukan seperti kondisi saat ini di mana para pemimpin
negeri justru tunduk dibawah arahan korporasi asing dan rakyatlah yang menjadi
korban kesengsaraan atas kerakusan mereka. Butuh untuk menyadarkan hal ini
kepada masyarakat dan masyarakat sendirilah yang akan menuntut adanya perumusan
sistem terbaru dan
terbaik untuk mengatasi permasalahan
negeri.
Azimatur Rosyida
Mahasiswi, Surabaya
05 Desember 2015/20:46
Mencoba dikirim ke suara pembaca Republika belum berhasil. Please try again.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar