Beberapa hari yang lalu saya melihat berita PT Lapindo Brantas berencana ngebor sumur gas baru di Tanggulangin, Sidoarjo. Tepatnya radius 2,5 km dari pusat semburan lumpur panas pertama. Aneh, membuat saya bergidik berkali-kali. Jelas akibat pengeboran sumur pertama membuat tanah Porong memuntahkan lumpur panasnya dari tahun 2006 tanpa henti sampai detik ini. Menjadikan Porong sebagai kota mati. Siapa yang menanggung dampaknya? Pemimpin Lapindokah? Merasa bersalah dan dosa besar telah mengakibatkan bencana sebesar itu selama bertahun-tahun sehingga harus bertanggung jawab penuh? Puluhan desa terendam, beberapa perusahan yang mempekerjakan ribuan buruh mati, puluhan ribu warga menjadi korban. Tidak sedikit dari mereka yang nyatanya belum mendapatkan hak ganti rugi.
Kondisi
yang sedemikian parah masih saja Lapindo Brantas berhasrat ngebor sumur kedua.
Meskipun pemerintah pada akhirnya Januari 2016 memutuskan untuk memberhentikan
‘sementara’ aktivitas tersebut. Namun, Direktur Jenderal Migas ESDM berencana
membuka pengeboran kembali awal Maret tahun ini. Seolah menjadi hal yang mudah
dilakukan karena Lapindo telah mengantongi sejumlah perizinan. Terutama dari
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah. Lah?
Bukannya
saya berprasangka jelek. Saya hanya seorang mahasiswa, bukan seorang pakar
apapun. Tapi rasionalitas saya tidak bisa menerima alasan mereka mengksploitasi
gas alam ini untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. Tidak mudah mengobati
trauma yang menghantui masyarakat selama bertahun-tahun. Rasionalitas saya juga
mempertanyakan beginikah wajah demokrasi? Dari rakyat, untuk rakyat, oleh
rakyat? Ataukah lebih tepat dari korporasi, untuk korporasi, oleh korporasi?
Seberapa besar keuntungan individu yang diperoleh dengan nekat membuka sumur
kedua dan memberi izin pengeboran tanpa mempertimbangkan kesejahteraan dan
kenyamanan masyarakat. Siapakah pengendali atas negeri ini? Bukankah para
pemimpin adalah wakil rakyat yang dipillih rakyat untuk mengaspirasikan suara
mereka. Atau malah dalam demokrasi ada bos di atas bos. Semuanya terselubung.
Azimatur Rosyida
Mahasiswi, Surabaya
14 Februari 2016/10:34
Mencoba dikirim ke suara pembaca Republika belum berhasil. Please try again.