Terlintas pertanyaan adik kelas, kalau pengemban dakwah tetapi nilainya jelek sama aja dong?
Betul kah? Atau justru pertanyaan tersebut tidak
bisa dikomparasikan?
Beberapa hari
yang lalu aku hendak melaksanakan amanah dakwah tercampur juga dengan sedikit rasa
puas menerima IPK yaaa setidaknya sudah melebihi 3 koma lah. Di perjalanan melewati jalan yang lurus
membuatku ingat pertanyaan di atas. Aku jadi menyesal telah memberikan
jawaban yang nggak sesuai –waktu itu– dengan jawaban yang baru aku temukan
sekarang. Dulu aku menjawab yang intinya, kalau pengemban dakwah yang ikhlas
berjuang di jalan Allah setidaknya nilai minimal pasti sedang atau pas rata-ratalah.
Kita belajar untuk mendapatkan hasil terbaik dan bagus itu juga bisa
mempromosikan dakwah. Bahwa sebenarnya pengemban dakwah di samping kesibukannya
juga bisa mendapatkan nilai bagus. Dan Allah juga sudah berjanji barang siapa
yang menolong agama Allah pasti Allah akan menolongnya. Itu jawaban yang aku
utarakan dulu. Dan jawabanku itu seolah-olah memberikan kesimpulan, "ya udah, kalo gitu dakwah aja deh. Kan setidaknya aku bakal dapat nilainya pas rata-rata." Mungkin akan menguntungkan juga kali yah buat orang-orang yang nilainya sering di bawah rata-rata. Hahah.
Tapi setelah
aku pikir-pikir kembali, sepertinya nggak semua jawabanku tepat. Jadi aku cabut
kembali sebagian pernyataanku dulu.
Justru
antara pengemban dakwah dan nilai pelajaran tidak bisa dibandingkan. Lantas,
apakah saat kita fokus di jalan dakwah sehingga fokus di pelajaran berkurang,
lalu begitu saja nilai kita jelek. Atau saat kita fokus ke pelajaran
sampai-sampai ketika mendapatkan amanah dakwah ditolak karena sibuk belajar. Jaminkah
bisa dapat nilai bagus? So, aku pikir tidak ada kaitannya antara amanah dakwah
dan nilai. Bahwa semua itu tidak bisa diukur secara kuantitas yang berbanding
terbalik. Semakin banyak amanah dakwah, semakin jelek nilai pelajaran. Semakin
sedikit amanah dakwah, semakin bagus nilai pelajarannya. Tidaklah semudah itu.
Mungkin
lebih tepat jika pertanyaannya seperti ini, meskipun kita pengemban dakwah
bagaimana kita bisa mempertahankan nilai agar tetap bagus? Nah, yang ini lebih
enak. Dan jawabannya pun nggak bakal jungkat-jungkit.
Pahami dulu
bahwa sebenarnya seorang muslim itu wajib menuntut ilmu. Allah cinta dengan
orang yang bersungguh-sungguh belajar dan mendalami ilmu di bidang farmasi
misalnya atau di bidang lainnya demi kemaslahatan penduduk bumi. Apalagi
dakwah. Waahh, jangan ditanya lagi ini sudah jelas wajib ain bagi setiap
muslim. Makanya, hanya di tangan orang yang beriman kepada Allahlah semua itu
akan berjalan seimbang, bukan di tangan orang-orang yang mengambang. Karena
orang beriman, melandaskan semua aktifitasnya dengan keikhlasan.
Selanjutnya,
kuncinya ada pada kecerdasan kita mengatur waktu. Jadikan waktu ada di bawah
kendali penuh oleh kita sendiri. Kitalah yang akan menjadi manajer waktu bagi
diri sendiri. Sudahlah beriman kepada Allah, kecerdasan waktu juga ada pada
kita. Sudahlah lezat!!! Dan agar kelezatan itu semakin mantap, perlu dilakukan
deteksi dini mulai dari bahan-bahan yang bisa menghilangkan kelezatan.
- Kalau mulut
mulai hoam-hoam, tangan mulai garuk-garuk kepala, mata mulai kedap-kedip, dan
molet menjadi hal paling nikmat. Awas, tanda-tanda tubuh sudah teracuni dengan bahan-bahan
kemalasan. Islam tidak pernah mengajari umatnya untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG (Malas Selalu
Gagal). Tapi kalau udah terlanjur makan, langsung saja segarkan tenggorokan
dengan hadist ini.
"Allah SWT mencela sikap lemah, tidak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cekatan, namun jika kamu tetap terkalahkan oleh suatu perkara, maka kamu berucap 'cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Allah sebaik-baik pelindung." (HR Abu Dawud) - Hindari makanan yang bermerek Masih Lama Ah, Belum Waktunya Kok, Nanti Aja. Dijamin itu merek bisa menghipnotis orang lupa akan waktu. Islam nggak pernah jual makan yang bermerek seperti itu. Istilah kerennya berasal dari bahasa Arab, Taswiif (menunda waktu).
Dari ibn Abbas
ra, Rasulullah SAW bersabda: “Raihlah lima kesempatan sebelum datangnya lima
kesempitan. Masa mudamu sebelum datangnya masa tuamu, masa sehatmu sebelum
datangnya masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, waktu luangmu
sebelum datangnya waktu sempitmu dan masa hidupmu sebelum datangnya masa
matimu. (Diriwayatkan oleh Imam al-Haakiim dalam al-Mustadrak)
Sejauh aku berpikir masih dua poin ini yang menjadi dasar kegagalan. Barangkali ada yang kurang
silahkan ditambah sendiri, hihih.
Nah, kalau
sudah pintar-pintarnya kita melakukan deteksi dini bahan-bahan ber’penyakit’
tersebut sekaligus kita sudah mampu menjauhkannya dari tubuh. Selanjutnya, akan
mudah bagi kita untuk melakukan orentasi perbuatan sehingga aktifitas hidup
akan lancar.
Ini juga menjadi intropeksi bagi diri saya pribadi. Lebih baik menampar diri sendiri
terlebih dahulu sebelum orang lain. Kalau bilangin diri sendiri dan orang lain memang mudah, tinggal aja bilang lewat tulisan atau ngomong. Tapi nggak semua orang bisa –kata Ustadz Felix– DO IT. [Justice Aidoru]