Sebuah album yang berisi catatan perjalan hidup
siswi SMA yang bersekolah di Amerika. “Saya lulus. Seharusnya saya
menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya
adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak
bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman
saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam
melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal
mengikuti sistem yang ada...... Saya
tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah
sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap
subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang
saya mulai ketakutan…….” (www.americaviaerica.blogspot.com).
Ini merupakan ungkapan
seorang siswi yang merasa sekolah adalah pekerjaan. Otaknya hanya disetir untuk
mencari nilai tinggi. Dan baginya, pekerja adalah orang yang terjebak dalam
pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya.
Pernyataan seorang Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia, Prof. Mohammad Nuh “Kalau tidak lulus UN,
mereka tidak dapat ijazah, dan akhirnya tidak bisa kerja juga.” Seolah dengan
bekerja kesuksesan tertinggi telah teraih. Sesempit itukah cara berfikir
seseorang? Bagaimana tidak cara berfikir seperti itu muncul ketika pendidikan
sudah mulai terkomersilkan. Masuk sekolah atau perguruan tinggi dengan biaya
mahal. Lantas untuk mendapatkan biaya itu kembali output peserta didik harus
bisa mendapatkan nilai tinggi, ijazah, gelar sehingga bisa diterima
diperusahaan, kaya raya. Ketika kelak berkeluarga dapat menyekolahkan anaknya
kembali. Siklus hidup bagaikan siklus terbentuknya hujan. Itu saja! Meskipun
pada faktanya semakin tinggi pendidikan seseorang tidak ada jaminan mendapatkan
pekerjaan sesuai tingkat pendidikannya.
Tidak Sejalan Dengan Perbaikan
Moral
Pesan kecil yang dikutip dari Human
Development Index (HDI) Indonesia, “Seharusnya pendidikan memberikan efek
yang saling melengkapi antara kemampuan akademis, moral, dan sosial.” Padahal
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 adalah
“Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.” Mutu pendidikan Indonesia bisa terlihat dari HDI 2013
yang meraih peringkat ke-121 dari 186 negara dan 8 negara-teritori sehingga
Indonesia menempati kelas Medium
Human Development.
Undang-Undang
yang diberlakukan di Indonesia jarang sekali selaras dengan aspek implementatif.
Bagaimana output peserta didik kriteria pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 bisa
terpenuhi jika masih diberlakukan konsep link and match (keberkaitan dan
keberpadanan) antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Seolah memberikan
pesan tersirat bahwa produk dari sistem pendidikan adalah generasi tukang.
Generasi muda diberlakukan layaknya mesin yang dipekerjakan saat diperintah
dengan iming-iming setumpuk uang. Tentu, meskipun diberlakukannya konsep ini
tidak dapat menjamin setiap lulusan terdidik mendapat kerja. Menteri
Tenagakerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengungkapkan,
610 ribu dari total 7,17 juta pengangguran terbuka di Indonesia, adalah
"pengangguran intelektual" atau dari kalangan lulusan universitas. (www.tribunnews.com).
Bahkan
kurikulum baru, kurikulum 2013, lebih banyak disoroti sebagai bermuatan politis
persaingan mereka-mereka menuju pemilu 2014 daripada upaya besar bangsa ini
menyiapkan generasi baru yang siap bertarung di arena global. (www.edukasi.kompasiana.com/2013/03/05).
Hal ini telah
mengindikasikan bahwa pendidikan saat ini sudah menjadi barang komersil
lantaran bisa mendatangkan keuntungan. Ketika materi telah menjadi tolak ukur
menjadi kewajaran –yang tidak layak– orientasi pendidikan terus tergerus.
Pendidikan tidak lagi dijadikan sebagai tempat yang nyaman untuk mencerdaskan
peserta didik menjadi generasi berjiwa pemimpin, menjadi pelopor di segala
bidang kehidupan, dan matang dalam merancang masa depan. Banyak lulusan SMA
atau sarjana, tapi hanya sedikit yang benar-benar mumpuni dalam bidangnya. Bagi
mereka yang pintar pun, kepintarannya telah dieksploitasi demi kepentingan
kapitalis global. Itu yang terjadi pada kebanyakan masyarakat akibat sistem
pendidikan yang terkapitalisasi saat ini.
Saat itulah
fokus moral sudah tak dianggap penting lagi. Sudah banyak praktik jual beli
gelar dengan menawarkan jasa pembuatan ijazah palsu. Diperparah lagi dengan pemberitaan
pedofilia Maret lalu di JIS yang menimpa beberapa murid TK. Bahkan berbagai
pemberitaan di televisi setiap harinya tidak terlepas dari kasus pedofilia yang
merebak di beberapa daerah. Belum lagi kasus tawuran pelajar di DKI Jakarta
sebanyak 112 kasus pada 2013 juga mengalami peningkatan. Aksi pembunuhan yang
dilakukan anak SD kepada temannya sendiri yang jika ditinjau lebih dalam
merupakan akibat kejahatan sistemik. Peran pendidikan seolah tidak berbekas
sama sekali. Kerasnya ospek perkuliahan sampai menewaskan seorang mahasiswa di
Malang. Belum lagi kasus yang terjadi di luar negeri, Tel Aviv, sebuah kota
metropolitan di Israel. Sebanyak 7 siswa SMP tertular penyakit HIV setelah
tidur dengan PSK yang memberikan pelayanan tidur gratis.
Prestasi
akademik pun tidak dapat menjamin seseorang bisa memiliki kepribadian kuat.
Ignatius Ryan Tumiwa, pria penderita depresi yang sempat menyatakan
keinginannya untuk disuntik mati, menurut informasi yang diperoleh ternyata
pernah menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Indonesia. Cukup
mengejutkan ternyata Ryan lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,37. (www. kesehatan.kompasiana.com).
Tidak akan ada
habisnya ketika permasalahan yang diakibatkan sistem pendidikan sekarang
dikupas satu per satu. Siapa yang akan bertanggung jawab atas kebejatan ini?
Individu, keluarga, lingkungan, atau...negaralah yang seharusnya bertanggung
jawab penuh?
Memang Sudah Seharusnya
Tanggung Jawab Negara
Terlebih
dahulu harus dipahami sejatinya tujuan pendidikan adalah untuk membentuk
kepribadian khas dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan
dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan seharusnya dirancang untuk
merealisasikan tujuan tersebut. Adapun setiap metode yang berorientasi bukan
kepada tujuan tersebut dilarang. Tujuan seperti hanya ada pada sistem
pendidikan Islam. Dalam Islam, pendidikan merupakan kebutuhan pokok seluruh
rakyat yang wajib dipenuhi oleh Negara. Sehingga Negara akan berupaya maksimal
agar seluruh rakyat mendapatkan hak mereka dengan pendidikan yang berkualitas
secara cuma-cuma. Dan kurikulum pendidikan hanya berbasis pada akidah Islam.
Peserta didik akan dipahamkan bahwa Islam adalah agama sempurna yang mencakup
seluruh aturan hidup manusia dan satu-satunya yang layak untuk dijadikan jalan
hidup.
Secara terperinci ada dua tujuan
pokok pendidikan. Pertama, membangun kepribadian Islami, pola pikir (aqliyah)
dan jiwa (nafsiyah) bagi umat, yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah
Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku Islami ke dalam akal dan jiwa anak
didik. Karenya dibutuhkan sebuah Negara (Daulah Khilafah) untuk menyusun
dan melaksanakan kurikulum pendidikan agar tujuan ini terealisasi. Kedua, mempersiapkan
anak-anak kaum Muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di
setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu ke-Islaman (ijtihad, fiqih, peradilan,
dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan
lain-lain).
Demi tercapainya keutuhan tujuan
pokok pendidikan tersebut Negara akan senantiasa mencegah siapa saja yang
menyerukan pemikiran atau konsep selain yang didasarkan pada akidah Islam. Bisa
dibayangkan model pendidikan seperti ini betul-betul menghasilkan sosok ilmuan
sejati yang juga matang iman. Secara alamiah, akhlakul karimah pun akan
senantiasa menghiasi setiap detik aktivitas mereka. Akan sangat jauh dari
istilah pasar atau industri yang hanya sekedar menguntungkan segelintir pihak
dengan menumbalkan sebagian besar masyarakat.
Lihatlah bagaimana ilmuan-ilmuan
Islam terdahulu mahir dalam segala bidang. Imam Syafii dengan karya tulisannya
sebanyak 113 kitab tentang tafsir, fikih, adab, dan lain-lain. Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi, ilmuan
pertama yang membuat penjelasan seputar penyakit cacar karena kemahirannya
dalam bidang kedokteran, kimia, dan lain-lain. Ibnu Haitham, seorang ilmuan Islam yang
ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat.
Al Khindi ahli adalah ilmuwan ensiklopedi, pengarang 270 buku, ahli
matematika, fisika, musik, kedokteran, farmasi, geografi, ahli filsafat Arab
dan Yunani kuno. Al Khindi, ilmuan ensiklopedi, pengarang 270 buku, ahli
matematika, fisika, musik, kedokteran, farmasi, geografi, ahli filsafat Arab
dan Yunani kuno. Muhammad al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel –sebuah kota
yang bergelar The City with Perfect Defense– karena kecerdasan yang luar
biasa dan kekuatan imannya kepada Allah. Sampai-sampai beliau tidak pernah
masbuk dalam sholat berjamaah. Subhanallah, Allahu Akbar!
Mereka adalah hasil cetakan dari
sebuah sistem mulia, sebuah sistem yang benar-benar melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik dan pelayan umat. Dan sistem seperti itu hanya ada pada sistem
Islam yang berlandaskan keimanan pada Allah semata.
Semua itu tidak akan berarti
tanpa adanya sebuah institusi (sistem Islam) yang akan menjamin
keberlangsungannya. Sistem Islamlah yang akan membuktikan sepanjang
penerapannya adalah rahmat bagi seluruh penduduk bumi. Oleh karenanya, butuh
kesadaran dari kaum Muslim akan penting dan wajibnya menjadikan Islam sebagai
jalan hidup sebuah negara. Sehingga terwujudnya sebuah institusi yang
berlandaskan hukum Allah bukanlah hal mustahil. Sudah menjadi janji Allah akan
ada masa di mana hukum Allah dijadikan sebagai hukum tertinggi.[justice aidoru]